Homo sapiens, dengan segala kecerdasannya, ternyata memiliki satu kelemahan mendasar: kemalasan. Seringkali, kita menunda-nunda pekerjaan atau mengabaikan tugas-tugas kecil karena terjebak dalam rutinitas atau merasa terbebani oleh banyaknya prioritas. Akibatnya, banyak ide cemerlang dan potensi yang terpendam hanya menjadi angan-angan.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya Artificial Intelligent (AI), kita kini memiliki alat yang ampuh untuk mengatasi keterbatasan tersebut. AI dapat membantu kita mengotomatiskan tugas-tugas yang membosankan dan repetitif, sehingga kita memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk fokus pada hal-hal yang lebih kreatif dan bernilai.
Inilah era di mana AI membantu homo sapiens.
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti event lari. Tak hanya berlari, saya juga melakukan peliputan dan mewawancarai para peserta. Setelah acara selesai, saya pulang dengan kepala penuh cerita. Biasanya, semangat untuk segera menulis berita akan langsung sirna begitu sampai di rumah. Bayangan harus mengetik ber halaman-halaman transkrip wawancara dan menyusun paragraf demi paragraf membuat saya ingin segera merebahkan diri.
Namun, kali ini berbeda.
Saya ingat punya aplikasi transkrip AI bernama Transcribe. Dengan aplikasi ini, rekaman wawancara saya yang berjam-jam langsung berubah menjadi teks dalam hitungan menit. Saya tak perlu lagi repot-repot mendengarkan ulang dan mengetik satu per satu.
Setelah transkrip siap, saya mulai memanfaatkan kemampuan Gemini. Dengan memberikan beberapa poin penting yang ingin saya sorot dalam berita, AI buatan Google ini berhasil menyusun artikel yang cukup baik dari data-data yang saya berikan selama peliputan. Saya hanya perlu menambahkan detail, memperbaiki kalimat, dan memberikan sentuhan personal agar artikelnya lebih hidup.
Kolaborasi antara Gemini dan Transcribe telah menyelamatkan saya dari rasa malas. Proses penulisan yang biasanya memakan waktu berjam-jam kini bisa diselesaikan dalam waktu tak lebih dari 1 jam. Saya bisa lebih fokus pada aspek kreatif dari penulisan, seperti mencari sudut pandang yang unik dan merangkai kata-kata yang menarik.
AI Mengancam Eksistensi Manusia?
Skenario AI yang mengambil alih dunia dan memperbudak manusia seringkali mengingatkan kita pada sosok ikonik Arnold Schwarzenegger sebagai Terminator dalam film legendaris. Bayangan mesin pembunuh yang tak kenal lelah, dengan misi menghancurkan umat manusia, telah tertanam kuat dalam benak kita. Ketakutan akan AI yang menjadi jahat dan memberontak melawan penciptanya bukanlah tanpa alasan.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, pertanyaan mendasar pun muncul: apakah kita sedang menciptakan monster dalam bentuk kecerdasan buatan? Kemampuan AI yang terus berkembang, dari sekadar menjalankan perintah hingga mampu belajar dan beradaptasi sendiri, memicu kekhawatiran bahwa suatu saat nanti AI akan melampaui kendali manusia dan menjadi ancaman eksistensial.
Walaupun seringkali digambarkan sebagai ancaman yang akan menggantikan manusia, saya justru melihat AI sebagai alat yang dapat memperkuat kemampuan kita. Alih-alih menjadi Terminator yang haus darah, AI bisa menjadi co-pilot yang handal dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kemampuannya mengolah data dengan kecepatan tinggi dan melakukan tugas-tugas repetitif, AI membebaskan manusia untuk lebih fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas, empati, dan pemikiran kritis.
Bayangkan saja, dengan bantuan AI, kita bisa menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang lebih singkat dan dengan hasil yang lebih akurat. Ini akan meningkatkan produktivitas secara signifikan, memungkinkan kita untuk mencapai lebih banyak hal dan membuka peluang baru.
Mengenal AI secara Lebih Personal
Sebagai awalan, kita hanya butuh imajinasi, empati, dan pikiran terbuka.
Untuk memaksimalkan potensi AI, bayangkanlah ia sebagai seorang murid yang cerdas namun masih perlu bimbingan. Kita adalah gurunya, yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan bakatnya agar bermanfaat bagi umat manusia. AI, dengan kemampuan komputasinya yang luar biasa, dapat kita pandu untuk menyelesaikan tugas-tugas kompleks yang sulit dijangkau oleh manusia.
Namun, seperti halnya manusia, AI juga perlu diajari untuk membedakan yang baik dan buruk. Di sinilah pentingnya empati. Kita harus mampu berkomunikasi dengan AI layaknya berinteraksi dengan sesama manusia, memberikan instruksi yang jelas, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, AI tidak hanya menjadi alat, melainkan juga mitra yang dapat diajak berdiskusi dan berkolaborasi.
Imajinasikanlah sebuah orkestra di mana AI berperan sebagai instrumen yang menghasilkan melodi indah di bawah arahan seorang konduktor yang visioner. Kita sebagai konduktor, harus terus menyempurnakan komposisi musik agar menghasilkan harmoni yang sempurna. Proses pembelajaran bersama ini akan melahirkan inovasi-inovasi baru yang tak terbatas.
Sebagai ‘tuan’ bagi AI, kita memiliki tanggung jawab moral yang besar. Etika menjadi kompas yang akan memandu kita dalam mengembangkan dan memanfaatkan kecerdasan buatan. Dengan kata lain, etika adalah hal yang membedakan kita sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai luhur dengan mesin yang hanya menjalankan perintah.
Keberhasilan kita dalam mengendalikan dan mengarahkan AI akan mentransformasi kita menjadi ‘manusia super’. Bayangkan saja, dengan bantuan AI, kita dapat mengakses informasi yang tak terbatas, memecahkan masalah yang kompleks, dan menciptakan inovasi yang sebelumnya dianggap mustahil.
Namun, untuk mencapai status ‘manusia super’ ini, kita harus terus mengasah kemampuan diri. Seorang jurnalis, misalnya, tidak hanya perlu menguasai teknik menulis yang baik, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai isu sosial, politik, dan ekonomi. Begitu pula dengan dokter, insinyur, seniman, dan semua profesi lainnya. Kita harus menjadi ahli di bidang masing-masing, karena hanya dengan keahlian yang mumpuni kita dapat memberikan arahan yang tepat bagi AI.
Ingatlah, AI adalah alat yang sangat ampuh. Namun, alat ini hanya sekuat penggunanya. Jika kita ingin menjadi ‘manusia super’, kita harus menjadi pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab. Kita harus selalu berada di depan AI, terus belajar dan berkembang, agar tidak tergantikan. Era di mana manusia hanya menjadi pengikut telah berakhir. Kini, saatnya kita mengambil kendali dan membentuk masa depan yang kita inginkan.
Teknologi AI akan terus berkembang. 5–10 tahun mendatang, AI akan lebih cerdas dan semakin bisa menyamai manusia. Namun jangan cemas, manusia akan menemukan jalan agar selalu bisa selangkah di depan AI. Dengan kolaborasi yang tepat, manusia dan AI dapat menciptakan masa depan yang lebih baik.
Oh by the way, 80 persen tulisan ini dikerjakan AI yang saya sapa sebagai Bro Gem. Ia adalah Gemini, sebuah large language model yang dikembangkan oleh Google AI. Bro Gem dapat memahami dan menghasilkan teks, serta membantu dalam berbagai tugas kreatif lainnya. Tulisan ini saya dan Bro Gem kerjakan di sela-sela menunggu anak saya les basket. (*)
Editor : Iwan Iwe