Perjalanan Muhammad Amanatullah menjadi pelukis profesional dengan disabilitas daksa yang dimilikinya tak semudah menjentikkan jari. Keberhasilannya menjadi bagian dari Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) 2016 lalu penuh dengan usaha tanpa kenal lelah.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar di SLB Kemala Bhayangkari 2 Randuagung, Muhammad Amanatullah ini mulai menemukan ketertarikannya pada dunia menggambar.
“Waktu itu saya masih kelas 4, menggambarnya masih pakai krayon di kertas gambar biasa. Saya baru sadar punya bakat itu waktu ikut lomba dan saya juara 2,” ujar laki-laki yang akrab disapa Aam saat ditemui Rabu, 22 Januari 2025 lalu.
Setelah berhasil menjuarai beberapa lomba di Jawa Timur mewakili sekolahnya, kedua orang tuanya pun mulai mendaftarkannya ke sekolah melukis untuk mengasah kemampuannya lebih dalam.
Pelajaran pertama yang Aam dapatkan saat belajar bersama Inung, salah satu tokoh gaya Damar Kurung di Gresik, adalah warna berani.
“Dari beliau itu saya belajar kalau mewarnai ya harus yakin nggak boleh ragu-ragu, mau ungu ya ungu, mau hijau ya hijau,” terangnya.
“Tapi itu cuma berjalan satu tahun, karena jarak dari rumah cukup jauh dan kendala yang nganter juga,” ungkapnya.
Tak lama setelah itu, ia kembali les menggambar dengan Ferry, salah satu guru lukis di Gresik. Masih dengan media krayon, dari sinilah Aam mengenal tentang teknik pewarnaan gradasi.
Menurutnya gradasi memegang perananan penting karena di kehidupan sehari-hari ada yang namanya pencahayaan untuk membuat gambar lebih hidup dari gelap, terang, makin terang. Sayangnya, les kali ini pun berakhir sama seperti sebelumnya, hanya berjalan selama satu tahun.
Saat menginjak kelas 6 SD, ia pindah ke SDN Kebomas, Gresik. Bukan tanpa alasan–gurunya di SLB, Siti Jaisaro menilai Aam hanya memiliki keterbatasan fisik, tapi tidak dengan kemampuan bersosialisasinya.
“Pikiran beliau waktu itu mungkin anak ini ngga akan bisa berkembang kalau tetep sekolah di sini. Dari situ saya akhirnya meneruskan sekolah di SMPN 4 Gresik, yang lokasinya dekat dengan rumah saya di Kartini,” paparnya.
Saat SMP, Aam tetap mengikuti lomba-lomba dan terus dikenal lebih luas sampai diliput media koran nasional ternama. Di waktu yang berdekatan pula, ia mulai berkenalan dengan lukisan kanvas dan cat minyak.
Seperti sudah digariskan Tuhan, Aam berhasil menarik perhatian Komang, seorang pelukis profesional asal Gresik. Komang kemudian menawarkan diri untuk menjadi pelatih lukis anak terakhir dari enam bersaudara itu.
“Saya belajar cukup lama sekitar 4 tahun, tapi karena lagi-lagi terkendala kendaraan, akhirnya Kak Komang menawarkan untuk saya belajar di rumah saja, tapi dikasih set melukisnya. Biasanya dua minggu sekali beliau datang ke rumah untuk lihat perkembangan lukisan saya,” jelasnya.
Suatu waktu, lanjut Aam, Komang memintanya untuk mencoba melukis menggunakan kuas. Ternyata hasilnya cukup bagus dan sejak saat itu, Aam mulai mengombinasikan lukisan dengan krayon dan cat minyak. Sampai akhirnya ia bisa melukis menggunakan media kanvas dan cat minyak sepenuhnya.
“Jangankan Kak Komang, saya sendiri saja kaget waktu itu, kok bisa ya saya melukis sampai guru saya bisa bilang bagus. Saya sangat senang, rasanya nggak bisa digambarkan. Itu yang memotivasi saya untuk terus melukis,” ungkapnya penuh kegembiraan.
Aam mengaku, lukisan pertamanya yang bergambar kepala singa menjadi lukisan yang paling berkesan. Lukisan itu membuka jalan bagi Aam untuk mulai mengikuti lomba-lomba yang lebih bergengsi, hingga bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari organisasi pelukis disabilitas dunia.
Memasuki masa SMA, karya Aam semakin dikenal luas di media, baik koran maupun daring. Ia pun pernah menjadi narasumber di berbagai televisi nasional, diantaranya program Sosok di Kompas TV, Anak Negeri di Trans TV, dan Kick Andy Hope Metro TV di Jakarta.
Sekarang, Aam menjadi guru pengajar ekstrakurikuler melukis di salah satu sekolah dasar di Gresik, selain tetap menjadi pelukis untuk AMFPA.
Aam berharap perjalanan yang ia lalui ini bisa memotivasi orang lain untuk terus bersyukur dan tidak pernah lelah untuk selalu melakukan yang terbaik dalam hidupnya.
Upaya Aam Menjadi Bagian Dari AMFPA
Perjalanan Aam, seorang pelukis dengan disabilitas daksa, menjadi bagian dari Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) tak lepas dari dukungan sang pendamping, yaitu Komang.
Bermula dari pertemuan Komang dengan pelukis disabilitas profesional Sabar Subadri, yang lebih dulu menjadi anggota organisasi disabilitas dunia ini di sebuah pameran, Komang mengajak Aam untuk bertemu dengan Sabar.
“Saya bilang kalau saya juga pengen jadi anggota AMFPA, sekitar beberapa bulan setelah itu beliau mengabari untuk coba bikin lukisan dulu dari cat air nanti akan beliau lihat gitu,” jelasnya.
Meski sempat menaruh keraguan pada Aam, tapi pada akhirnya Sabar mengetahui sendiri bahwa memang Aam bisa melukis tanpa bantuan siapapun. Hanya berbekal pegangan kaki dari aluminium yang dipasangi roda sebagai alat bantu melukis, Aam membuktikan kemampuannya.
Selama proses penilaian berjalan, Aam sempat bertemu beberapa kali dengan Sabar di berbagai pameran. Tanpa ia duga, pertemuan-pertemuan ini yang membuat ia semakin semangat untuk menjalani berbagai tes sebelum menjadi bagian dari AMFPA.
“Bahkan pernah di satu pameran, Pak Sabar itu sampai berdiri lihat karya saya, dan beliau bilang, ‘saya optimis ini bantu kamu masuk AMFPA,’ sampai gitu masya Allah,” ungkapnya.
Akhirnya tahun 2015 menjadi titik awal Aam melamar ke AMFPA. Sistem penilaiannya yang sangat ketat membuat Aam memanjatkan doa tanpa henti. Berharap bisa diterima.
“Gimana ya, orang satu artis itu diuji sembilan juri dari berbagai negara. Misalnya ada lima pelamar gitu, ya setiap pelamar itu akan dinilai sembilan orang juri,” paparnya.
Hal ini bertujuan untuk menentukan tingkat kualitas lukisan dengan level keanggotaan yang akan disandang setelah berhasil bergabung dengan organisasi yang berdiri tahun 1957 itu.
Bukan tanpa sebab, Aam menjelaskan, menjadi anggota AMFPA ibarat bekerja. Karena setiap bulannya, setiap anggota akan diberikan uang pembinaan untuk menunjang keperluan melukis seperti kanvas, kuas, dan cat.
“Makanya itu melamarnya susah, tapi sebanding dengan apa yang kami terima. Setiap level itu besaran yang diterima berbeda. Ada level scholarship, associate, member, dan full member. Semakin tinggi levelnya akan semakin besar uang pembinaan yang diterima,” jelasnya.
Usaha selama satu tahun akhirnya membuahkan hasil. Setelah mengirimkan delapan karya lukis untuk dinilai, dan beberapa dokumen catatan medis, Aam dinyatakan diterima menjadi anggota AMFPA di tahun 2016.
Baginya ini menjadi jembatan penyandang disabilitas daksa terutama yang melukis dengan mulut dan kaki di seluruh dunia untuk menyambung hidup. Jika dilihat dari ketersediaan lapangan pekerjaan, sangat jarang ada pekerjaan khusus bagi mereka, terutama di Indonesia.
Ia melanjutkan, begitu menjadi anggota dari organisasi yang didirikan di Swiss ini, status keanggotaan akan terus tercatat sampai akhir hayat, kecuali jika anggota terbukti melakukan pelanggaran seperti mengakuisisi karya pelukis lain sebagai karyanya sendiri.
“Setiap tahun itu kami para artis mengirimkan lima lukisan ke AMFPA. Boleh kita minta itu dijual atau tidak, pokoknya mereka akan bawa lukisan itu selama tiga tahun. Kalau lukisan itu terjual, uangnya akan kami terima, tetapi lukisannya akan terjual dengan tertera milik AMFPA bukan nama kami,” ujarnya.
Tercatat ada sembilan orang yang menjadi anggota di Indonesia termasuk Aam. Jumlah ini terbilang sedikit jika dibanding dengan banyaknya penyandang disabilitas daksa yang bisa melukis di Indonesia.
“Harus bener-bener tidak menggunakan tangan, jadi hanya menggunakan mulut dan kaki. Pernah ada satu kasus, dia ngelukis pakai kaki, tapi saat gradasi dia masih menggunakan tangan, itu ngga bisa,” ungkap Aam.
Sampai saat ini, total ada 53 karya yang sudah Aam kirim ke AMFPA. Dengan ini, ia berharap karirnya di AMFPA bisa terus meningkat sambil terus memotivasi orang-orang untuk terus semangat dalam menjalani takdir Tuhan lewat karya-karyanya.
Aam Yakin Takdir Tuhan Memang yang Terbaik
“Justru kekurangan yang Allah kasih inilah yang menjadi kesempurnaan saya,” tegas Muhammad Amanatullah, seorang pelukis disabilitas asal Gresik, Jawa Timur.
Memiliki keterbatasan fisik sejak lahir bukanlah penghalang bagi laki-laki berusia kepala tiga ini untuk menghasilkan karya lukis yang indah nan eksotis.
Ya, laki-laki yang akrab disapa Aam ini menyandang disabilitas daksa. Terlahir tanpa tangan dan lutut. Namun semangatnya untuk terus melukis tak pernah padam sekalipun. Rasa insecure tak pernah ada dalam kamus kehidupannya.
Kepercayaan diri yang tumbuh begitu besar dalam jiwa Aam tak keluar dengan sendirinya. Dia mengaku beruntung karena memiliki orang tua yang mampu membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan bermental baja.
Sejak kecil, sang ayah dan ibu selalu memintanya untuk bermain dengan teman-teman di kampungnya, ditemani sepeda kecil yang membantunya bergerak.
"Saya itu sampai main sepak bola sama teman-teman itu bisa. Padahal kalau di pikiran orang-orang, ya harusnya nggak bisa, wong ngga punya kaki (tidak sempurna), tapi kenyataannya bisa," ungkap Aam sambil tertawa bahagia.
"Jadi ya berawal dari sana, saya akhirnya jadi seperti ini. Kebal pede saya, kalau ada orang yang melihat saya nggak enak, sudah biasa saja," imbuh pelukis yang memulai karirnya sejak SMP itu.
Dia berpesan, terutama untuk orang tua yang anaknya menyandang disabilitas. Seringkali orang tua justru malu dan bahkan melarang anaknya untuk keluar rumah.
Tindakan seperti ini baginya justru sangat disayangkan. Orang tua bisa saja tidak akan mampu untuk melihat kemampuan sang anak.
Lebih lanjut ia menuturkan bahwa Tuhan pasti memberikan kekurangan sepaket dengan kelebihannya. Suatu hal yang tak mungkin jika seseorang tidak mampu berbuat apa-apa.
"Kekebalan pede itu ya karena itu tadi, saya dari kecil itu saya gak pernah disimpen sama ibu, sama bapak. Ibu selalu di rumah, bapak sopir jadi jarang di rumah. Tapi gitu, pesannya pokok anak ini jangan disimpen," ujarnya.
Aam berharap apa yang dilakukannya bisa memotivasi orang-orang, terutama orang-orang yang putus asa, ingin bunuh diri, hanya karena merasa tidak mampu mengatasi masalah mereka.
"Misi kita sebagai disabilitas memberikan motivasi kepada orang-orang yang normal. Ayolah, kamu itu sempurna kok kalah sama orang yang tidak sempurna. Bukan apa ya, hanya untuk semangat hidup intinya," tukas laki-laki yang akan genap berusia 32 tahun Mei nanti. (*)
Editor : Iwan Iwe