Tikus sejak lama menjadi simbol kerakusan dan kebusukan. Hewan pengerat ini dianggap licik, rakus, dan suka menggerogoti sesuatu secara diam-diam, mirip pejabat yang menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri.
Akar simbol ini bisa ditelusuri sejak abad ke-6 SM melalui teks klasik Tiongkok The Book of Odes (Shi Jing). Di sana, pejabat yang menindas rakyat digambarkan sebagai “tikus besar” yang tak pernah kenyang. Di Eropa abad pertengahan, tikus menjadi lambang wabah pes dan kekotoran, sehingga mudah dipandang sebagai simbol bencana dan kehancuran moral.
Di Amerika, asosiasi tikus dengan korupsi menguat lewat majalah satir Puck (akhir abad ke-19). Majalah tersebut kerap menampilkan kartun politik yang menggambarkan pejabat korup dan pengusaha tamak sebagai tikus besar yang merayap di ruang parlemen atau menggerogoti uang negara. Selain itu karya "Rat" yang menggambarkan seorang pemimpin yang semena-mena terhadap rakyat atau kelas yang di bawah nya.
Baca Juga : Korupsi Hibah Dinas Pendidikan Ngawi Rp 18 Miliar Mulai Dsidangkan
Simbol itu kemudian hidup di Indonesia. Istilah tikus kantor populer bahkan sebelum reformasi, salah satunya lewat lagu Iwan Fals berjudul Tikus-Tikus Kantor (1992). Lagu itu mengkritik keras pejabat rakus yang memakan uang rakyat secara sistematis. Setelah reformasi 1998, istilah ini semakin lekat dengan demonstrasi mahasiswa maupun aksi antikorupsi. Boneka tikus raksasa, mural, hingga poster bergambar tikus menjadi ikon perlawanan rakyat terhadap praktik korupsi.
Meski tikus telah menjadi metafora kuat di ruang budaya, tantangan utama tetap berada pada penegakan hukum dan komitmen pemberantasan korupsi yang konsisten di semua lini. (Fadillah Putri Pri Utari)
Baca Juga : Kejaksaan Tetapkan Mantan Kepala BPN Dan 2 Pengembang Perumahan Sebagai Tersangka Korupsi
Editor : M Fakhrurrozi