KEDIRI - Pengadilan Negeri (PN) Kediri melakukan eksekusi pengosongan rumah dan tanah milik Imam Mashadi, di Lingkungan Kedung Sentul, Kelurahan/Kecamatan Mojoroto, Kamis (8/5/2025) pagi.
Eksekusi pengosongan rumah dan lahan seluas 280 meter persegi ini mendapat penolakan dari termohon. Eksekusi dilakukan lantaran lahan dan rumah milik Imam Mashadi ini bagian dari proyek strategis nasional pembangunan jalan tol akses bandara Kediri-Tulungagung.
Menurut Berly, panitera PN Kediri, eksekusi berdasarkan penetapan Pengadilan dan telah dititipkan uang ganti kerugian sekitar Rp 1,1 Milyar untuk lahan dan bangunan diatasnya.
“Ekesekusi ini pengosongan terhadap tanah dan rumah untuk kepentingan umum. Telah dititipkan uang ganti kerugian Rp 1 miliar 135 juta 533 ribu berikut bangunan diatasnya seluas 280 meter persegi dari luas keseluruhan 304 meter persegi di Kelurahan Mojoroto,” ujarnya.
Baca Juga : Sengketa Lahan, Sekolah Yayasan Trisila Akan Dieksekusi Pekan Depan
Berly menambahkan, termohon ada tiga dalam perkara ini. Ketiga termohon masih bersaudara.
Eksekusi rumah dan lahan milik Imam Mashadi ini mendapat penolakan dari ahli waris dan penasehat hukum termohon. Menurut Maslik Hanim, penasehat hukum termohon, protes ini dilakukan karena ganti rugi lahan masih belum tuntas.
“Kita keberatan karena obyek pengosongan belum dibebaskan keseluruhan. Dari obyek keseluruhan, masih ada yang belum dibebaskan, sehingga menurut hukum acara, eksekusi tidak bisa dijalankan,” ujarnya.
Baca Juga : Garden Palace Hotel Dieksekusi, 120 Karyawan Kehilangan Pekerjaan
Selain itu, lanjutnya, pihaknya melakukan perlawanan dan perkara masih berlangsung di pengadilan.
“Dua hal inilah yang membuat kita menyesalkan pengadilan melakukan eksekusi pengosongan lahan dan rumah,” katanya.
Sementara itu, Muhammad Hamim, termohon eksekusi menyesalkan adanya pengosongan lahan dan rumah.
Baca Juga : Eksekusi Tanah Senilai Rp. 10 Miliar, Kuasa Hukum Nilai Cacat Hukum
“Saya menyesalkan ada pihak di instansi yang terindikasi memanfaatkan sengketa ini. Saya menolak karena harga tanah saya dihargai Rp 1,3 juta. Sementara samping rumah berupa tanah perkebunan dihargai Rp 1,8 juta. Karena itu, saya menolak dan jiwa saya berontak,” tegasnya. (*)
Editor : M Fakhrurrozi