PACITAN - Peringatan Bupati Indrata Nur Bayuaji bukan tanpa alasan. Fenomena bullying di sekolah terus menjadi persoalan laten yang mencederai dunia pendidikan, termasuk di daerah. Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 23 Pacitan yang digagas sebagai solusi atas keterbatasan akses pendidikan menengah justru berisiko menjadi ladang baru praktik diskriminasi jika tidak dikawal serius.
"Jangan sampai ada perundungan, jangan sampai ada bullying. Ini sekolah rakyat, harus menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi semua," ujar Bupati Aji.
Sebagai sekolah eksperimental yang baru membuka angkatan pertama, SRMA 23 dituntut menjadi model alternatif pendidikan yang bukan hanya inklusif, tetapi juga transformatif. Namun pertanyaannya, apakah sistem pengawasan, pembinaan karakter, dan pelatihan pendidik sudah cukup kuat mencegah perilaku menyimpang seperti bullying?
Beberapa pemerhati pendidikan menilai, dengan status “rakyat” yang disematkan, sekolah ini diharapkan mampu melahirkan iklim pendidikan yang egaliter dan berempati, bukan sekadar jargon program pemerintah.
Baca Juga : Bupati Pacitan Warning SRMA 23, Tak Ada Tempat untuk Bullying!
"Angkatan pertama wajib memberikan contoh yang baik, dan tentunya kita akan evaluasi secara berkala. Sekolah ini bukan hanya tentang kurikulum, tapi tentang mencetak manusia yang bermartabat," tambahnya.
Namun publik menanti lebih dari sekadar pernyataan. Pencegahan bullying membutuhkan pendekatan sistemik, mulai dari pelatihan guru, pembentukan tim pendamping psikologis, hingga keterlibatan komunitas lokal. (Edwin Adji)
Editor : JTV Pacitan