Pilkada 2024 membawa kita pada kenyataan menarik tentang bagaimana agama diposisikan dalam politik. Banyak calon pemimpin mengedepankan citra religius untuk meraih simpati dan suara, mencitrakan diri sebagai sosok bermoral tinggi dan pembela nilai-nilai agama sampai ke garis depan kampanye.
Menyusun janji untuk membangun masyarakat yang lebih bermoral dan berlandaskan agama. Tapi, di balik retorika tersebut, seberapa jauh nilai-nilai agama benar-benar diterapkan dalam kebijakan mereka? atau agama hanya bagian dari strategi politik untuk meraih dukungan?
Sering kali, apa yang terlihat di permukaan tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika kebijakan yang diambil ternyata lebih menguntungkan bisnis pribadi atau kelompok tertentu, masyarakat harus mulai mempertanyakan apakah nilai-nilai agama benar-benar menjadi pedoman, atau hanya alat untuk mencapai tujuan politik.
Dalam beberapa kasus, kebijakan yang diambil kerap lebih menguntungkan elit politik atau kepentingan ekonomi tertentu, bukannya kepentingan rakyat.
Sebagai generasi muda, terutama Gen Z, penting bagi kita untuk tidak terjebak hanya pada tampilan luar. Jangan sampai kita terjebak dalam euforia kampanye yang berbau religius tanpa mempertimbangkan realitasnya.
Agama memang memainkan peran sentral di masyarakat, namun kebijakan seperti akses pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan infrastruktur yang memadai juga menjadi indikator penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih, bukan sekadar retorika agama yang diulang-ulang tanpa bukti nyata.
Pilkada adalah kesempatan bagi kita untuk memilih pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga bekerja untuk kepentingan rakyat. Sebagai generasi yang melek informasi, kita harus bersikap kritis dan memilih pemimpin yang memiliki komitmen nyata terhadap rakyat.
Bagaimana pemimpin akan menjadikan nilai-nilai agama sebagai prinsip yang mendorong mereka untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan inklusi bagi semua lapisan masyarakat.
Jangan biarkan agama dijadikan sekadar baju yang bisa dilepas dan dipakai sesuai kebutuhan politik. Jika agama hanya menjadi alat politik, apa bedanya dengan janji-janji kosong lainnya?
Pada akhirnya, kita tidak membutuhkan pemimpin yang hanya mampu berbicara tentang moralitas. Kita membutuhkan sosok yang mampu menerjemahkan moralitas itu ke dalam kebijakan yang membawa perubahan nyata.
Mari kita bersuara lantang di Pilkada 2024 ini dan menuntut perubahan yang lebih substansial. Kita berhak atas pemimpin yang benar-benar mengedepankan kesejahteraan, bukan sekadar citra atau kepentingan pribadi yang dibungkus nilai-nilai agama.
*) Falia Feb, mahasiswi yang tiap hari minum jus sambil bolak balik scroll Twitter, karena merem politik nowadays is totally wrong
**) Penulis adalah salah satu peserta magang JTV Digital periode September-Desember 2024
Editor : A.M Azany