Stunting, masalah kesehatan yang berkaitan dengan pertumbuhan anak, masih menjadi perhatian serius di Indonesia. Kondisi ini terjadi ketika anak-anak mengalami gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis dan paparan infeksi yang sering terjadi. Akibatnya, tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak jangka panjangnya, termasuk penurunan kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko penyakit kronis di masa depan.
Menurut data WHO, stunting bukan hanya masalah di Indonesia, tetapi juga menjadi isu global. Pada tahun 2020, sekitar 22 persen anak balita di dunia mengalami stunting, yang berarti sekitar 149,2 juta anak terdampak. Di Indonesia, prevalensi stunting pada tahun 2022 tercatat sebesar 31,8 persen. Angka ini memang berhasil diturunkan menjadi 21,6 persen, tetapi tantangan besar tetap ada, terutama untuk mencapai target menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Mantan Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa stunting bukan hanya masalah tinggi badan, tetapi juga berdampak pada kemampuan belajar dan kesehatan anak di masa depan. Karena itu, pemerintah berkomitmen menurunkan angka stunting melalui berbagai program intervensi gizi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Namun, tantangan nyata terasa di lapangan. Di beberapa daerah, akses terhadap makanan bergizi, air bersih, dan layanan kesehatan masih sangat terbatas. Seorang ibu di Nusa Tenggara Timur, misalnya, mengungkapkan sulitnya mendapatkan makanan sehat untuk anak-anaknya. "Air bersih saja sulit di sini, apalagi makanan bergizi. Kami berharap pemerintah lebih memperhatikan daerah-daerah terpencil seperti kami," ujarnya.
Selain kendala akses, kurangnya edukasi mengenai pentingnya gizi seimbang bagi ibu hamil dan anak-anak juga menjadi isu penting. Banyak masyarakat yang belum memahami dampak buruk dari stunting serta cara mencegahnya. Melalui program edukasi yang masif, diharapkan kesadaran masyarakat mengenai pola makan sehat dan pentingnya pemeriksaan kesehatan rutin dapat meningkat.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengembangkan delapan aksi konvergensi intervensi gizi. Langkah-langkah tersebut meliputi identifikasi daerah dengan prevalensi stunting tinggi, penyusunan rencana kegiatan intervensi gizi, hingga edukasi tentang pentingnya menjaga pola makan dan lingkungan yang sehat.
Di sisi lain, masyarakat diharapkan lebih aktif dalam mendukung upaya penurunan stunting. Partisipasi masyarakat, lembaga swasta, dan perguruan tinggi sangat diperlukan untuk menciptakan gerakan kolektif dalam pencegahan stunting. Edukasi tentang pemberian ASI eksklusif, pemenuhan kebutuhan gizi sejak masa kehamilan, serta menjaga kebersihan lingkungan adalah langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Meskipun tantangan dalam mengatasi stunting masih besar, harapan untuk Indonesia bebas stunting tetap ada. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, Indonesia optimis dapat mencapai target penurunan angka stunting. Anak-anak Indonesia berhak tumbuh sehat, cerdas, dan mampu bersaing di masa depan. (*)