Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena krisis identitas di kalangan remaja telah menjadi topik yang sangat hangat, terutama dalam konteks perkembangan teknologi digital yang pesat di era Society 5.0. Remaja, yang dikenal sebagai digital natives, hidup di dunia yang sangat terhubung, di mana media sosial dan platform digital mendominasi interaksi mereka. Remaja saat ini dibombardir dengan informasi yang beragam. Banyak dari informasi tersebut akhirnya menciptakan standar kecantikan, kesuksesan, hingga identitas yang tidak realistis. Konsep Society 5.0 awalnya diperkenalkan Jepang, mengacu pada masyarakat yang berfokus pada manusia dengan memanfaatkan teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan dan Internet of Things (IoT), untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun, fenomena ini juga membawa tantangan baru, terutama bagi remaja yang mencari identitas di tengah gempuran informasi dan tekanan sosial yang tinggi. Menurut survei yang dilakukan Katadata Insight Center dan UNICEF, sekitar 97% remaja di Indonesia mengakses internet setiap hari. Banyak dari mereka menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial. Hal ini menimbulkan tantangan baru dalam pembentukan identitas diri yang sehat.
Faktor Penyebab Krisis Identitas
Salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis identitas di kalangan remaja adalah ketergantungan mereka pada media sosial. Dengan munculnya berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook, remaja terjebak dalam lingkaran perbandingan sosial yang tidak sehat. Mereka sering kali merasa tertekan untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh remaja sebayanya, yang biasanya tidak mencerminkan kenyataan. Misalnya, banyak remaja merasa harus tampil sempurna di media sosial sehingga foto-foto yang akan mereka tampilkan diedit secara berlebihan.
Mereka menginternalisasi citra-citra tersebut dan merasa bahwa penampilan fisik mereka tidak sesuai dengan harapan. Fenomena ini diperparah adanya body shamming dan cyberbullying, di mana remaja saling merendahkan satu sama lain di dunia maya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa sekitar 40% remaja pernah mengalami cyberbullying, yang dapat berdampak serius pada kesehatan mental mereka. Tekanan dari rekan sebaya juga sangat berpengaruh dalam krisis identitas ini. Banyak remaja merasa harus melakukan tindakan tertentu untuk diterima oleh kelompok teman mereka. Contohnya, ada remaja yang merasa terpaksa merokok atau mengonsumsi alkohol hanya agar bisa dianggap "keren" di mata teman-teman mereka. Bahkan, kasus intimidasi yang dialami oleh remaja yang tidak mengikuti tren atau tidak mau terlibat dalam perilaku berisiko ini semakin meningkat. Tekanan untuk mematuhi norma kelompok dan perilaku tertentu dapat membuat remaja merasa tidak berdaya dan bingung dalam mencari jati diri mereka. Selain itu, algoritma media sosial sering kali memperkuat citra ideal yang tidak realistis. Konten yang diunggah oleh influencer dan selebriti sering kali telah diedit dan disusun sedemikian rupa untuk menarik perhatian. Mari kita mengambil contoh "a day in my life" yang diunggah oleh seorang selebriti. Dalam video tersebut, dia menunjukkan rutinitas harian yang glamor, mulai dari sarapan di kafe mewah, berolahraga di gym pribadi, hingga menghadiri acara red carpet. Semua momen ini disajikan dengan lighting yang sempurna dan musik latar yang menarik, menciptakan kesan bahwa hidupnya selalu sempurna dan tanpa masalah. Namun, kenyataannya, momen-momen tersebut hanya sebagian kecil dari kehidupannya, dan banyak aspek kehidupan sehari-harinya yang tidak ditampilkan, seperti tekanan kerja dan tantangan pribadi. Remaja yang melihat konten seperti ini sering kali menginternalisasi citra ideal tersebut dan merasa bahwa penampilan fisik dan gaya hidup mereka tidak sesuai dengan harapan yang ada.
Akibat Krisis Identitas Krisis identitas dapat mengakibatkan isolasi sosial. Remaja yang merasa terasing mungkin enggan untuk berbagi perasaan mereka dengan teman-teman atau keluarga. Hal ini memperburuk perasaan kesepian dan mengurangi dukungan sosial yang sangat diperlukan dalam masa perkembangan diri remaja. Di sisi lain, gangguan pada hubungan interpersonal dan ketidakpastian tentang identitas diri ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan bahkan depresi. Akibat dari krisis identitas dapat beragam dan serius. Masalah kesehatan mental menjadi salah satu dampak paling mengkhawatirkan. Dalam laporannya UNICEF menyebutkan bahwa 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Tekanan dari lingkungan sosial dan ketidakpuasan dengan diri sendiri sering kali memicu kecemasan dan depresi, yang bisa berujung pada pikiran untuk bunuh diri. Rasa tidak berharga yang dihasilkan dari perbandingan sosial dan cyberbullying dapat merusak kesehatan mental dan emosional remaja.
Urgensi Fasilitasi Remaja Menghadapi Krisis Identitas
Menghadapi krisis identitas bukanlah hal yang mudah, tetapi ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu remaja mengatasi masalah ini. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan memberi dukungan pada remaja untuk menerima dan menghargai diri sendiri. Penting untuk mengajarkan remaja bahwa setiap individu memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing. Sebagai contoh, seorang guru dapat mengadakan sesi refleksi diri di kelas, di mana siswa diminta untuk menuliskan hal-hal positif tentang diri mereka dan pencapaian yang mereka banggakan, sehingga mereka belajar untuk menghargai diri sendiri. Diskusi yang melibatkan pengembangan rasa syukur terhadap diri sendiri dapat dilakukan di lingkungan keluarga dan sekolah, mendorong remaja untuk berbagi pengalaman mereka dan menghargai pencapaian kecil yang telah mereka raih.
Fokus pada passion juga merupakan cara yang sangat penting dalam membantu remaja menemukan identitas mereka. Ketika remaja terlibat dalam kegiatan yang mereka cintai, mereka lebih cenderung merasa percaya diri dan bangga pada diri sendiri. Sekolah dapat berperan penting dengan menyediakan platform bagi siswa untuk mengeksplorasi bakat mereka, seperti kompetisi seni, olahraga, atau sains. Misalnya, mengadakan acara talent show di sekolah di mana siswa dapat menampilkan bakat mereka tidak hanya memberi mereka kesempatan untuk bersinar tetapi juga membangun rasa percaya diri yang akan bermanfaat dalam perjalanan hidup mereka.
Selanjutnya, terbukanya remaja terhadap perubahan merupakan aspek penting yang perlu dibangun dalam menghadapi krisis identitas. Identitas bukanlah sesuatu yang statis; ia dapat berkembang seiring waktu. Mendorong remaja untuk menerima perubahan dan tantangan sebagai bagian alami dari kehidupan dapat membantu mengurangi tekanan yang mereka rasakan.
Mengajarkan mereka untuk melihat perubahan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh adalah langkah yang positif. Sebagai contoh, kegiatan diskusi di mana siswa diajak untuk berbicara tentang pengalaman hidup mereka yang penuh perubahan - baik itu pindah sekolah, kehilangan teman, atau beradaptasi dengan lingkungan baru - dapat membuka wawasan mereka tentang pentingnya fleksibilitas dalam identitas. Sekolah dan orang tua dapat menciptakan lingkungan yang mendorong eksplorasi dan penemuan diri, sehingga remaja merasa lebih siap untuk menghadapi berbagai situasi yang mungkin muncul di masa depan.
Dalam konteks ini, baik di rumah dan di sekolah perlu disediakan ruang untuk mendorong diskusi terbuka tentang identitas dan tantangan yang dihadapi. Ruang di mana remaja merasa nyaman untuk berbagi perasaan dan pengalaman mereka. Hal ini tidak hanya memperkuat hubungan antar individu, tetapi juga memberikan kesempatan bagi remaja untuk saling mendukung dalam proses menemukan identitas mereka. Melibatkan orang tua dan guru dalam proses ini sangat krusial, karena mereka memiliki peran besar dalam membentuk pandangan dan kepercayaan diri remaja.
Menciptakan lingkungan yang mendukung di rumah dan di sekolah adalah langkah penting untuk membantu remaja mengatasi krisis identitas. Dukungan yang diberikan oleh orang tua dan guru dapat memberikan landasan yang kuat bagi remaja untuk tumbuh dan berkembang. Dalam dunia yang penuh tantangan ini, kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi kunci untuk membantu remaja menemukan identitas diri yang positif dan sehat. Dengan adanya dukungan yang kuat, remaja akan lebih mampu menghadapi tekanan dari lingkungan sekitarnya dan menemukan jati diri mereka dengan lebih baik. (*)