SURABAYA - Pimpinan Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Jawa Timur menggelar Webinar Nasional bertajuk “Negara Pancasila dan Fiqh Kenegaraan: Meneguhkan Islam Nusantara dalam Demokrasi Konstitusional”, Jumat (22/8/2025).
Webinar yang diikuti 500 peserta dari kalangan kiai, akademisi dan praktisi hukum ini menghadirkan sejumlah tokoh sebagai narasumber. Diantaranya Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara sebagai moderator, Dr. (HC) KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag.,Wakil Rais Aam PBNU, Prof. Dr. KH. Moh. Noor Harisuddin, M.Fil.I., merupakan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqh UIN KHAS Jember dan Prof. Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum., merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Dalam Webinar ini, PW ISNU Jawa Timur melalui biro hukum dan politik memperkenalkan Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan sebagai wadah untuk mengintegrasikan pemikiran hukum, politik, dan keislaman. Gagasan pendirian sekolah ini dicetuskan oleh Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara,
Dalam paparannya, Prof Hufron menekankan pentingnya ruang-ruang intelektual bagi sarjana NU.
“Sekolah ini merupakan sebuah laboratorium gagasan. Di sinilah kita menggodok pemikiran tentang hukum dan politik kebangsaan, sekaligus menjawab dinamika global yang terus bergerak. Sarjana NU tidak boleh hanya menjadi penonton dalam arus besar hukum dan politik bangsa. Kita harus menjadi motor penggerak yang menanamkan nilai Islam Nusantara sekaligus menjaga marwah Pancasila,” ujar Prof. Hufron.
Acara dibuka dengan sambutan dari Plt Ketua Umum PW ISNU Jawa Timur, Prof. Dr. H. M. Afif Hasbullah, S.H., M.Hum., yang menegaskan peran ISNU sebagai value keeper bangsa. Ia menekankan, Pancasila bukan hanya dasar negara, melainkan juga titik temu bagi keberagaman di Indonesia.
“ISNU hadir sebagai pengawal nilai di tengah arus globalisasi, tantangan ideologi, hukum dan moral. Maka karena itu, sarjana NU harus meneguhkan bahwa Islam Nusantara adalah wajah Islam yang ramah, berbudaya, dan sejalan dengan Pancasila,” tegas Afif Hasbullah.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PP ISNU, Prof. M. Mas’ud Said, M.M., Ph.D., dalam paparan yang telah direkam lebih menekankan pentingnya peran politik kebangsaan ISNU.
“Kita tidak bicara politik praktis, melainkan politik nilai. Politik yang berakar pada Pancasila dan Islam Nusantara, bukan pada kepentingan sesaat. ISNU harus menjadi jangkar moral dalam demokrasi kita,” ungkapnya.
Sementara itu, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., selaku Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang diwakili oleh Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP - Prof. Dr. H. Agus Moh. Najib, S.Ag., M.Ag.,. memaparkan bahwa Pancasila adalah nilai universal yang sejalan dengan maqashid syariah, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
“Pancasila bukan sesuatu yang asing, justru ia adalah pengejawantahan nilai-nilai maqashid syariah dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,” ujarnya.
Ketiga narasumber menyampaikan berbagai hal. Dr. (HC) KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag menyoroti keberadaan negara merupakan sebuah keniscayaan (ḍarūrah), sebab kemaslahatan umat dapat diwujudkan hanya melalui negara.
“Negara bukan tujuan, melainkan alat (wasilah). Tujuan yang sesungguhnya adalah tegaknya keadilan, terwujudnya kemaslahtan dan terlaksananya maqāṣid al-sharī‘ah. Oleh karena itu, ukuran suatu negara tidak terletak pada bentuknya, apakah disebut “negara Islam” atau bukan, tetapi pada sejauh mana negara tersebut mampu menjadi instrumen yang adil dan melindungi rakyat,” ungkap Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo ini.
Sementara Prof. Dr. KH. Moh. Noor Harisuddin, M.Fil.I. menjelaskan bahwa fiqh Nusantara merupakan hasil ijtihad dalam teks-teks syariat dengan budaya dan realitas lokal di Indonesia.
“NKRI sudah syariah, maka tidak perlu disyariahkan lagi. Maka, Fiqh Nusantara tidak dimaksudkan untuk mengganti Pancasila atau NKRI, melainkan menguatkan keduanya. Dengan mengaitkan fiqh dengan nilai-nilai Pancasila, sistem hukum nasional dapat diteguhkan agar lebih kontekstual, inklusif, dan sejalan dengan semangat kebinekaan,” paparnya.
Dan, terakhir Prof. Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum. mengatakan agenda mendesak saat ini adalah melakukan evaluasi regulasi yang kerap tumpang tindih, memperbaiki kualitas peraturan daerah sebagai delegated legislation, merapikan regulasi yang berlebihan (regulatory impact assessment), mengintegrasikan teknologi hukum, serta memperkuat komitmen berpancasila. Ia juga menegaskan bahwa setiap sila Pancasila memiliki sifat mandiri sekaligus saling terkait.
“Sila pertama dan kedua memberikan landasan moral, sila ketiga dan keempat menjadi metode kerja dalam membangun persatuan serta musyawarah demokratis, sedangkan sila kelima adalah tujuan puncak berupa keadilan sosial.” Ungkapnya.
Sebagai penutup, Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., selaku moderator menyampaikan benang merah dari seluruh dinamika diskusi yang berlangsung. Menurutnya, bahwa Islam, Pancasila, dan sistem hukum nasional tidak berdiri bertentangan, melainkan saling menopang.
“Kehadiran negara adalah sebuah keniscayaan, negara dipahami sebagai wasilah untuk mewujudkan kemanusiaan, kemaslahatan, dan keadilan. Fiqh Nusantara meneguhkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, NKRI dan Pancasila adalah bentuk yang selaras dengan maqāṣid al-sharī‘ah sekaligus hukum modern.” Tegas Prof. Hufron.
Webinar yang berlangsung selama lebih dari tiga jam ini diakhiri dengan doa dan harapan. Rencananya, PW ISNU Jawa Timur akan terus menggelar Webinar secara rutin setiap bulan sebagai bentuk konsistensi menghadirkan ruang perjumpaan gagasan. (*)
Editor : M Fakhrurrozi