Bagi traveler muslim, wisata kuliner di Jepang bisa menjadi tantangan tersendiri. Banyak makanan tradisional yang mengandung bahan non-halal meski tidak selalu disebutkan secara jelas dalam menu. Mengetahui kata-kata kunci dalam bahasa Jepang menjadi langkah penting agar tidak salah memilih makanan.
Salah satu kata yang wajib diwaspadai adalah “buta” (豚) yang berarti daging babi. Istilah ini sering muncul dalam berbagai menu populer, seperti buta ramen (ramen daging babi), buta don (nasi dengan irisan babi), hingga shabu-shabu buta. Selain itu, traveler juga harus memperhatikan kata “tonkotsu” (豚骨) yang berarti kuah kaldu tulang babi. Meskipun sekilas hanya terlihat seperti kuah ramen biasa, bahan dasarnya tetap berasal dari babi, sehingga tidak halal dikonsumsi.
Kata lain yang sering muncul di menu adalah “niku” (肉) yang berarti daging. Jika tidak dijelaskan secara spesifik, biasanya daging tersebut adalah babi atau sapi yang tidak diproses sesuai aturan halal. Traveler muslim juga perlu waspada dengan “sake” (酒) yang berarti alkohol. Bukan hanya sebagai minuman, sake sering digunakan sebagai bumbu masakan, terutama pada teriyaki, sup, atau saus.
Hal serupa berlaku untuk “mirin” (味醂), sejenis arak manis yang banyak dipakai dalam masakan Jepang. Tak kalah penting, kata “shiozake” (塩鮭) atau salmon asin juga kerap diawetkan dengan campuran sake. Meski terlihat seperti ikan biasa, proses pengolahannya membuatnya tidak halal bagi muslim.
Menurut Japan Halal Association, hingga kini masih banyak restoran di Jepang yang belum menyediakan label halal secara jelas. “Traveler muslim perlu aktif menanyakan bahan dasar makanan dan mengenali istilah kunci agar lebih aman,” ungkap asosiasi dalam keterangannya.
Agar perjalanan tetap nyaman, wisatawan muslim dianjurkan menggunakan aplikasi pencari restoran halal, atau memilih rumah makan dengan sertifikat halal resmi. Dengan demikian, pengalaman kuliner di Jepang bisa tetap nikmat tanpa rasa khawatir. (Fadillah Putri Pri Utari)
Editor : M Fakhrurrozi