JAKARTA - Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menanggapi substansi Dirty Vote, film dokumenter eksplanatori yang bercerita tentang desain kecurangan pemilu. Menurut Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman, film tersebut berisi fitnah, narasi kebencian, dan tidak ilmiah.
“Bahwa di negara demokrasi semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun, perlu kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang bernada asumtif, dan sangat tidak ilmiah,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers di Media Center Prabowo-Gibran, Mingggu (11/2/2024).
Dirty Vote mengetengahkan penjelasan dari tiga pakar hukum tatanegara, yakni Zainal Airifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiganya secara gamblang mengungkap kecurangan Pemilu 2024. Film tersebut bisa diakses lewat channel YouTube Dirty Vote sejak hari pertama masa tenang Pemilu, yakni Minggu, 11 Februari 2024 pukul 11.11.
Habiburokhman mempertanyakan kapasitas tokoh yang terlibat dalam film tersebut. “Dan saya kok merasa sepertinya ada tendensi, keinginan, untuk mensabotase pemilu,” kata Habiburokhman, kemudian lantas sedikit meralat. “Bukan mensabotase lah, ingin mendegradasi pemilu ini dengan narasi yang yang sangat tidak mendasar,” kata politikus Partai Gerindra tersebut.
Baca Juga : TKN Prabowo-Gibran Tanggapi Film Dirty Vote: Fitnah, Narasi Kebencian, dan Tidak Ilmiah
Dia juga menyoroti film yang sengaja dirilis di masa tenang tersbeut. “Ya karena cara-cara yang fair untuk bertarung secara elektoral sudah tidak mampu lagi mereka lakukan,” kata Habiburokhman.
Dirty Vote disutradarai Dandhy Dwi Laksono. Bagi Dandhy, ini adalah film keempat terkait dengan Pemilu yang dia sutradarai.
Pada 2014, lewat rumah produksi WatchDoc Dandhy meluncurkan Ketujuh, sebuah cerita tentang Joko Widodo yang ketika itu dielu-elukan mejadi sosok harapan baru. Pada 2017, menjelang Pilkada DKI Jakarta, Dandhy menyutradarai Jakarta Unfair. Sedangkan pada Pemilu 2019, Dandhy menyutradarai Sexy Killers, cerita tentang jaringan oligarki pada kedua capres-cawapres ketika itu, yang ditonton lebih dari 20 juta pada masa tenang.
Baca Juga : Ini Profil Tiga Pakar Hukum di Film Dirty Vote yang Kapasitasnya Diragukan TKN Prabowo-Gibran
Menurut Dandhy, Dirty Vote merupakan tontonan reflektif di masa tenang pemilu. Dia berharap film tersebut akan mengedukasi publik. "Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tapi, hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) sekaligus produser film ini, Joni Aswira, mengatakan bahwa Dirty Vote sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksi dihimpun melalui crowdfunding, sumbangan individu, dan lembaga. “Biayanya patungan,” ujarnya.
Dirty Vote digarap dalam waktu cukup pendek, yakni dua pekan. Sebanyak 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. (sof)
Editor : Sofyan Hendra