SURABAYA - Fenomena umrah mandiri tengah menjadi tren baru di masyarakat. Berbekal akses digital dan promosi tiket murah, banyak calon jamaah memilih mengatur perjalanan ibadahnya secara mandiri tanpa melalui biro resmi.
Narasi yang diusung terdengar menarik, lebih hemat, lebih fleksibel, dan seolah lebih efisien. Namun, sejumlah kasus gagal berangkat dan ketidakpastian layanan belakangan ini mengingatkan bahwa efisiensi yang tidak diiringi tata kelola justru bisa menimbulkan risiko mahal.
Sebagai seseorang yang sehari-hari berurusan dengan tata kelola dan keuangan di lingkungan perguruan tinggi, saya melihat fenomena ini tidak jauh berbeda dengan pengelolaan organisasi modern. Efisiensi memang penting, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka sistem yang teratur, transparan, dan memiliki pengawasan berlapis.
Dalam konteks universitas, setiap efisiensi anggaran selalu disertai analisis risiko, mitigasi, serta mekanisme akuntabilitas. Prinsip yang sama seharusnya juga berlaku ketika masyarakat mengambil keputusan yang berdampak pada keamanan dan keselamatan dirinya.
Murah Belum Tentu Efisien
Tiket murah sering kali hanya mencerminkan satu sisi dari efisiensi, yakni penghematan biaya. Padahal, efisiensi sejati menyangkut keseimbangan antara biaya, manfaat, dan keamanan. Banyak calon jamaah umrah mandiri yang berhasil berangkat dengan biaya rendah, tetapi tidak sedikit pula yang akhirnya menanggung kerugian akibat minimnya perlindungan hukum dan lemahnya manajemen risiko.
Dalam dunia tata kelola, efisiensi yang tidak disertai perencanaan dan pengawasan sama berbahayanya dengan pemborosan. Ketika proses pemantauan dan verifikasi diabaikan, potensi masalah justru meningkat. Maka, murah belum tentu efisien, dan efisien belum tentu berhasil bila tidak berlandaskan sistem yang tertata.
Kemandirian yang Terarah
Kemandirian masyarakat dalam mengatur perjalanan ibadah tentu patut diapresiasi. Namun, kemandirian tanpa sistem akan kehilangan arah. Seperti halnya di universitas, otonomi setiap unit kerja tetap diatur dalam koridor tata kelola yang jelas agar tidak tumpang tindih atau menimbulkan celah risiko.
Dalam hal ini, negara melalui regulasi penyelenggaraan umrah tetap memiliki tanggung jawab sebagai penjaga integritas layanan publik.
Kesadaran akan pentingnya tata kelola inilah yang perlu ditanamkan, terutama di era digital saat segala sesuatu bisa dilakukan secara mandiri. Kemandirian harus diiringi kemampuan mengelola risiko, memahami kontrak, serta memastikan legalitas penyedia jasa. Tanpa itu, efisiensi justru berubah menjadi kerentanan.
Efisiensi yang Berlandaskan Tanggung Jawab
Dalam praktik tata kelola di kampus, setiap keputusan finansial selalu dipertimbangkan dari aspek manfaat, keberlanjutan, dan dampak risikonya. Bukan semata tentang seberapa cepat atau hemat suatu proses dijalankan, tetapi bagaimana keputusan itu memastikan kejelasan tanggung jawab dan keamanan bagi semua pihak. Prinsip ini bisa menjadi cermin bagi masyarakat dalam mengambil keputusan-keputusan penting di ranah sosial maupun keagamaan.
Tren umrah mandiri sesungguhnya memberi pelajaran berharga tentang bagaimana masyarakat modern mengelola risiko dan memaknai efisiensi. Dalam era keterbukaan informasi, tata kelola menjadi pagar moral yang menjaga keseimbangan antara kemandirian dan keamanan. Sebab, efisiensi tanpa tata kelola hanya menghasilkan ilusi kepraktisan, sementara tata kelola tanpa efisiensi kehilangan daya geraknya.
*) Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : M Fakhrurrozi

















