SURABAYA - Sidang lanjutan kasus penggelapan investasi bodong dengan terdakwa Greddy Harnando dan Indah Catur Agustin digelar di Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (3/10/2024).
Sidang kali ini menghadirkan pasangan suami istri lansia, Lisawati dan Heru Kuncoro, sebagai saksi korban yang mengakui bahwa mereka dijanjikan keuntungan besar dari investasi di bisnis tekstil milik terdakwa di PT Garda Tamatek Indonesia.
Pasangan lansia berusia 71 tahun tersebut mengungkapkan bahwa mereka mengenal para terdakwa sejak tahun 2020 melalui teman terdakwa.
Dalam kesaksiannya, Lisawati mengungkapkan bahwa mereka dijanjikan bagi hasil keuntungan jika menginvestasikan dana mereka di usaha tekstil terdakwa, PT Garda Tamatek Indonesia.
Rinciannya adalah bagi hasil sebesar 1 persen pada bulan pertama, dan 1 persen ditambah 3 persen dari nilai investasi pokok di bulan berikutnya.
Dengan janji keuntungan tersebut, korban pun menginvestasikan total sebesar Rp171 miliar 750 juta secara bertahap.
Namun, kenyataannya, hingga saat ini korban tidak pernah menerima keuntungan atau pengembalian dana investasi yang telah disetorkan.
Lisawati juga menjelaskan bahwa uang yang diinvestasikan merupakan hasil kerja kerasnya sejak muda, ditambah dana titipan dari anggota keluarganya.
Dengan wajah penuh harap, ia menyatakan bahwa dana tersebut sangat penting bagi keluarganya, dan berharap agar kedua terdakwa mendapat hukuman yang setimpal serta uangnya dapat kembali.
Menurut kuasa hukum korban, Martin Suryana, keterangan yang diberikan oleh saksi dalam persidangan telah sesuai dengan yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Ia juga menambahkan bahwa audit dalam perkara ini tidak diwajibkan karena semua bukti sudah jelas.
"Kerugian sudah jelas, arus uang sudah jelas maka tidak diwajibkan kecuali untuk pidana tertentu." ungkapnya.
Jaksa Penuntut Umum, Agus Budiarto, mendakwa Greddy Harnando dan Indah Catur Agustin, yang merupakan komisaris dan direktur PT Garda Tamatek Indonesia, dengan pasal penipuan dan penggelapan investasi.
Mereka menjanjikan keuntungan sebesar 1 persen pada bulan pertama dan tambahan 3 persen pada bulan kedua, serta pengembalian dana pokok investasi.
Selain itu, kedua terdakwa diketahui telah membuat purchase order (PO) fiktif dari brand ternama untuk meyakinkan para investor bahwa bisnis tersebut berjalan dengan baik, padahal PO tersebut hanyalah tipuan.
Kasus ini mencuat setelah korban menyadari bahwa janji keuntungan dan PO yang ditampilkan oleh para terdakwa tidak pernah terwujud.
Investasi bodong ini tidak hanya merugikan korban secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan mereka terhadap peluang investasi yang sebelumnya dianggap menguntungkan.(Juli Susanto/Selvina Apriyanti)
Editor : Iwan Iwe