Pertemuan pada suatu pagi 19 Mei 1998 itu akan terkenang selamanya dalam sejarah. Yakni ketika Soeharto, presiden yang telah 32 tahun berkuasa ketika itu, menerima sembilan tokoh masyarakat di Istana Medeka. Yang dibahas cukup benderang. Yakni agar transisi menuju reformasi bisa berjalan tanpa menumpahkan darah.
Sembilan tokoh yang diundang adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Bagja, KH. Cholil Baidowi, K.H. Ali Yafie, K.H. Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, dan Ahmad Sumargono.
Di kesempatan itulah Cak Nur dan Cak Nun menegaskan keinginan masyarakat agar Soeharto lengser. Dengan gaya khasnya yang lugas, Cak Nun berseloroh bahwa “Pak Harto tidak jadi presiden kan ora patheken.” Kalimat tersebut lah yang diulang Soeharto dalam pernyataannya yang ikonik dan disiarkan secara luas lewat televisi.
Pertemuan pada pagi 19 Mei 1998 tersebut merupakan respons dari gagasan yang dirumuskan Cak Nun bersama Cak Nur, Malik Fajar, Oetomo Danandjaya, dan S. Drajat. Ide tentang transisi menuju reformasi tersebut disampaikan dalam konferensi pers di Hotel Wisata, Jakarta, pada 17 Mei 1998.
Baca Juga : Alhamdulillah, Kondisi Cak Nun Mulai Membaik
Itulah salah satu sepak terjang Cak Nun dalam sejarah yang menjadi pendulum penentu arah bangsa. Sebagai budayawan, peran tersebut tentunya tidak muncul tiba-tiba. Julukan manusia multidimensi tersemat dalam diri Cak Nun karena piawai di banyak bidang. Mulai dari sastra, seni, musik, hingga agama. Bersama grup gamelan Kiai Kanjeng, Cak Nun berusaha mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan dan masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak 2000-an, Cak Nun menggagas Maiyah, sebuah gerakan sosial yang bermula dari pengajian rutin yang diikuti oleh banyak lapisan masyarakat. Maiyah sendiri bermakna kebersamaan. Forum Maiyah rutin dalam Pengajian Padhangmbulan di Jombang menjadi tempat berkumpul yang selalu dinanti para jamaah.
Kehidupan Pribadi
Baca Juga : Profil Cak Nun, Sang Manusia Multidimensi
Lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, pada 27 Mei 1953, Cak Nun dibesarkan di lingkungan santri. Cak Nun merupakan anak keempat dari lima belas bersaudara dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Halimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama yang dihormati di Sumobito.
Cak Nun menikah dengan Neneng Suryaningsih pada 1979. Dengan Neneng, Cak Nun dikaruniai seorang anak yakni Sabrang Mowo Damar Panuluh yang kemudian dikenal sebagai vokalis band Letto. Cak Nun dan Neneng memutuskan berpisah.
Pada 1997, Cak Nun menikah dengan artis Novia Kolopaking. Pasangan ini dikaruniai empat anak, yakni Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha. Satu anak diberi nama Ainayya Al-Fatihah meninggal di dalam kandungan.
Kondisi Kesehatan
Setelah sehari mendapatkan perawatan intensif di RS Dr Sardjito, Jogjakarta, kondisi kesehatan budayawan Emha Ainun Nadjib berangsur stabil. Sebelumnya, Cak Nun, sapaan akrab cendekiawan tersebut, sempat tak sadarkan diri.
“Alhamdulillah proses recovery Mbah Nun berjalan terus dengan baik. Kondisi beliau baik dan stabil. Mohon terus kita alirkan doa untuk beliau. Semoga perkembangan beliau semakin teris membaik,” sebut website caknun.com yang aktif mengabarkan kondisi terkini Cak Nun. (*)
Editor : Sofyan Hendra