Indonesia terus berjuang untuk menjaga demokrasi, namun politik dinasti menjadi salah satu tantangan yang sulit diabaikan. Politik dinasti, yang memungkinkan kekuasaan berputar dalam lingkaran keluarga, semakin marak terlihat dalam panggung politik nasional. Walaupun dinasti politik bisa memberikan stabilitas, ada banyak risiko besar bagi demokrasi yang patut diwaspadai.
Sebagai negara dengan beragam latar belakang budaya dan pandangan, Indonesia membutuhkan keberagaman suara dan perspektif dalam pemerintahan. Kehadiran dinasti politik malah sering kali menciptakan "status quo" yang menghambat perubahan dan reformasi. Praktik ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, seperti kesetaraan dan transparansi, yang menjadi fondasi bagi keterlibatan seluruh rakyat, bukan hanya keluarga atau kelompok tertentu.
Definisi dan Contoh Politik Dinasti di Indonesia
Politik dinasti terjadi saat posisi kekuasaan secara konsisten diberikan kepada keluarga atau kerabat. Meskipun Indonesia adalah republik demokratis, praktik ini tetap terjadi, bahkan mulai dari level pemilihan kepala desa hingga pemilihan kepala daerah. Misalnya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada Pemilu 2024. Kontroversi ini menimbulkan kekhawatiran publik tentang terbentuknya dinasti politik baru.
Baca Juga : 33 Persen Pemilih Muda di Jatim Tolak Politik Dinasti
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia minimal capres dan cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, publik menilai keputusan ini mempermudah pencalonan Gibran. Banyak yang menganggap putusan ini sebagai bentuk dukungan politik yang pro terhadap kandidat tertentu, sehingga memicu kritik terkait keadilan dan independensi dalam proses pemilihan.
Dampak Negatif Politik Dinasti bagi Demokrasi:
Terbatasnya Partisipasi Politik: Politik dinasti menyulitkan orang-orang berbakat yang bukan bagian dari keluarga berkuasa untuk ikut serta dalam pemerintahan. Hal ini membuat demokrasi stagnan dan menghambat munculnya pemimpin baru yang berkualitas.
Baca Juga : Ribuan Mahasiswa dan Masyarakat Jatim Tolak Politik Dinasti
Praktik Nepotisme dan Korupsi: Politik dinasti sering kali disertai dengan nepotisme, kolusi, dan korupsi. Transparansi dan akuntabilitas terganggu ketika keputusan penting dibuat hanya berdasarkan hubungan darah.
Meningkatnya Kesenjangan Sosial: Dinasti politik cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat luas dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok elite. Akibatnya, kesenjangan sosial makin melebar, yang dapat memicu konflik sosial.
Langkah untuk Menjaga Demokrasi dari Cengkeraman Politik Dinasti
Untuk menjaga demokrasi, Indonesia perlu mengambil tindakan serius dalam menyikapi fenomena politik dinasti:
Pengawasan Ketat dari Lembaga Negara: Lembaga seperti KPU dan Bawaslu harus lebih aktif mengawasi proses pemilihan, memperketat persyaratan calon, dan memastikan calon pemimpin memiliki rekam jejak yang bersih dan transparan.
Kritik dan Kesadaran dari Masyarakat: Masyarakat perlu memilih pemimpin berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan hanya latar belakang keluarga. Partisipasi yang cerdas akan memastikan kepentingan rakyat terwakili dengan lebih baik.
Membangun Budaya Politik yang Sehat: Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip dasar dalam politik. Setiap tindakan pemimpin harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik, sehingga masyarakat bisa memilih secara rasional.
Dengan menghindari politik dinasti, Indonesia dapat memastikan masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan membuka peluang bagi siapa saja untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Dalam demokrasi sejati, kepemimpinan bukanlah warisan, melainkan hasil dari pilihan rakyat yang merdeka. (*)
*) Shiva Siti adalah mahasiswi Ilmu Administrasi Negara UNESA yang penuh semangat dalam meraih gelar sarjana. Aktif dalam organisasi dan berbagai kegiatan kampus, serta dikenal vokal dalam menyuarakan isu-isu politik.
Editor : Iwan Iwe