Menu
Pencarian

Polemik Kasino, Bennix: Jauh Berbeda dengan Praktik Judi Kalangan Bawah

Ayul Andhim - Rabu, 18 Juni 2025 13:30
Polemik Kasino, Bennix: Jauh Berbeda dengan Praktik Judi Kalangan Bawah
Pengamat ekonomi nasional Benny Batara. (Foto: Dok)

JAKARTA - Rencana legalisasi kasino di Indonesia mendapat tanggapan pengamat ekonomi nasional Benny Batara.

Dalam pernyataannya, pria yang akrab disapa Bennix ini menekankan perlunya membedakan antara kasino yang menyasar kalangan atas dan judi online ilegal yang justru menyasar masyarakat bawah.

“Kalau kita legalkan kasino, itu beda dengan judi online seperti yang marak di Kamboja. Judi online bisa diakses siapa pun dengan handphone—tukang ojek, tukang sayur, semua bisa ikut. Tapi kasino itu fisik. Harus beli tiket pesawat, sewa kamar hotel. Artinya, segmen pasarnya jelas: kalangan menengah ke atas,” jelas Bennix dalam diskusi publik yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertajuk "Legalisasi Kasino di Indonesia: Antara Kepastian Hukum, Tantangan Sosial, dan Peluang Ekonomi" di Jakarta.

Ia menyebut bahwa legalisasi kasino secara strategis bisa memberi pemasukan besar ke negara dan mengalihkan aliran uang yang selama ini bocor ke luar negeri.

“Kalau judi itu legal, duit masuk ke kas negara lewat Direktorat Jenderal Pajak. Kalau ilegal, duit masuk ke oknum aparat. Pilihannya, kita mau perkaya siapa hari ini?” tegasnya.

Bennix mencontohkan Singapura yang hanya berpenduduk sekitar 6 juta orang, namun berhasil mencetak pendapatan hingga Rp109 triliun dari dua kasino ternama: Marina Bay Sands dan Resorts World Sentosa.

Jumlah ini bahkan ditargetkan meningkat hingga Rp 150 triliun pada 2025, di mana mayoritas pengunjungnya bukan warga negara Singapura, melainkan wisatawan dari negara tetangga—termasuk Indonesia.

“Warga Singapura sendiri dipersulit untuk berjudi. Mereka harus bayar tiket masuk kasino sekitar Rp 35 juta. Tapi bagi warga asing, itu tidak berlaku. Karena memang kasino dibangun bukan untuk rakyat mereka. Mereka membidik orang Malaysia, orang Indonesia—terutama dari Medan. Banyak pengusaha kita tiap akhir pekan sewa 4 pesawat buat ke Genting Highlands,” paparnya.

Ia juga menyoroti bahwa kalangan atas berjudi bukan untuk menjadi kaya, tetapi sebagai bentuk hiburan berisiko tinggi (high-end entertainment), berbeda dengan motif masyarakat bawah yang berjudi karena ingin cepat kaya.

“Mereka tahu mereka bisa rugi miliaran, dan mereka datang dengan target kerugian itu. Tapi itu hiburan buat mereka. Mereka gak ngopi di pinggir jalan. Bukan ke Dufan. Mereka cari sensasi yang beda,” ujar Bennix.

Menurutnya, selama Indonesia tidak mampu menyediakan sarana hiburan semacam itu, maka uang akan terus mengalir ke luar negeri. Bahkan ia menyebut Indonesia kehilangan potensi ratusan triliun rupiah tiap tahun karena tak mengelola potensi industri kasino secara sah.

“Selama 10 tahun ini, sudah lebih dari 1.000 triliun rupiah uang orang Indonesia terbang ke luar negeri buat judi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bennix juga mengungkap potensi campur tangan asing dalam menggagalkan potensi ekonomi nasional, termasuk investasi strategis seperti pembangunan kasino, galangan kapal, hingga kilang minyak.

“Saya tahu sendiri, banyak LSM didanai dari luar negeri buat demo di Indonesia. Kalau negara ini buka kilang minyak, atau mau buka kasino, ada demo. Katanya isu lingkungan, padahal bisnis mereka yang terganggu. Singapura misalnya, mereka pintar. Setiap orang main kasino, negara dapat 25 persen royalti,” bebernya.

Bennix menyatakan, pendekatan realistis dan berbasis bisnis perlu diterapkan dalam membuat kebijakan. Bukan hanya soal moral atau agama, tapi manfaat ekonomi yang lebih luas.

“Kalau daerah seperti Pangkal Pinang APBD-nya cuma 1 triliun dan PAD cuma 100 miliar, itu artinya 90% hidup dari belas kasihan pusat. Kalau ini perusahaan, udah bangkrut. Kenapa kita gak bikin industri yang masuk akal? Yang bisa jalan sekarang ya pariwisata, hiburan, termasuk kasino fisik dengan regulasi yang ketat,” ujarnya.

Ia menutup dengan pernyataan keras bahwa bangsa Indonesia harus berhenti menjadi "mesin uang" bagi negara lain, dan mulai mengelola sendiri potensi ekonominya.

“Faktanya orang-orang kaya atau konglomerat Indonesia butuh hiburan. Faktanya mereka buang uang di luar negeri. Kalau negara bisa ambil alih ini secara legal, ini bukan hanya pemasukan negara, tapi bentuk kedaulatan ekonomi,” tegasnya. (*)

Editor : M Fakhrurrozi





Berita Lain



Berlangganan Newsletter

Berlangganan untuk mendapatkan berita-berita menarik dari PortalJTV.Com.

    Cek di folder inbox atau folder spam. Berhenti berlangganan kapan saja.