Pilkada Gubernur Jawa Timur selalu menjadi sorotan dalam ranah politik nasional. Dengan populasi terbesar kedua di Indonesia, yaitu sekitar 41 juta jiwa menurut BPS Jawa Timur, provinsi ini memiliki peran strategis dalam ekonomi dan politik. Pemilihan gubernur di Jawa Timur bukan sekadar persoalan politik lokal, tetapi juga barometer untuk mengukur arah kebijakan nasional. Pilkada 2024 diperkirakan akan berlangsung penuh dinamika, melibatkan kekuatan politik lokal dan nasional untuk menciptakan kepemimpinan yang mampu mengakomodasi perubahan zaman serta menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
Menurut Lasswell, politik menyangkut "siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana." Di Jawa Timur, dengan tradisi politik yang dinamis, aktor-aktor berpengaruh seperti partai besar—termasuk PDI Perjuangan dan PKB—serta tokoh agama dan jaringan pesantren, terutama dari Nahdlatul Ulama (NU), memainkan peran signifikan. Jawa Timur sering menjadi arena pertarungan kekuatan yang kuat secara budaya dan agama, yang berpengaruh pada kebijakan dan kepemimpinan lokal.
Pada Pilkada sebelumnya, pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak terpilih dengan janji meningkatkan kesejahteraan, pemerataan pembangunan, dan pemberdayaan perempuan serta kaum marjinal. Namun, masa jabatan mereka menghadapi tantangan besar, termasuk pandemi COVID-19. Pilkada 2024 menjadi kesempatan bagi publik untuk mengevaluasi kinerja petahana dan membuka peluang bagi calon pemimpin baru yang menawarkan solusi nyata untuk permasalahan Jawa Timur.
Secara lokal, isu ketimpangan ekonomi antarwilayah masih menjadi tantangan. Meskipun kota-kota besar seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Malang mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan, daerah lain, terutama di Madura dan wilayah tapal kuda, masih tertinggal dalam infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan. Pemimpin baru diharapkan mampu mengatasi ketimpangan ini melalui kebijakan pembangunan yang merata dan berkeadilan.
Baca Juga : Semangat Patriotisme, Ratusan Banser Longmarch Bawa Bendera Merah Putih Raksasa di Jombang
Di sisi lain, politik identitas sering berpengaruh di Jawa Timur, terutama mengingat kuatnya posisi NU. Dukungan NU dapat menjadi faktor penentu bagi kandidat, tetapi politik identitas yang tidak dikelola dengan bijak juga berisiko menciptakan polarisasi. Dalam konteks modern, kandidat harus bersikap inklusif dan mampu menjembatani berbagai kelompok yang beragam, baik tradisional maupun modern, perkotaan maupun pedesaan.
Digitalisasi juga menjadi faktor kunci dalam Pilkada 2024. Media sosial dan platform digital memegang peran penting dalam strategi kampanye, memungkinkan penyebaran narasi kandidat secara cepat. Namun, digitalisasi juga menambah risiko disinformasi dan hoaks. Karena itu, calon pemimpin perlu menerapkan strategi kampanye cerdas, positif, dan menghindari kampanye hitam yang dapat merusak persatuan masyarakat.
Pilkada Gubernur Jawa Timur 2024 menjadi peluang untuk menentukan arah masa depan provinsi ini dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang kompleks. Masyarakat menginginkan pemimpin yang berintegritas, mampu beradaptasi di era digital, dan memiliki visi pembangunan inklusif serta berkelanjutan. Pemimpin terpilih diharapkan dapat menyatukan elemen masyarakat dan mengutamakan kepentingan publik di atas politik pribadi, dengan dampak signifikan bagi peta politik nasional di masa depan. (*)
Baca Juga : PKB Rapatkan Barisan Menangkan Luluk-Lukman di Pilgub Jatim
*) Aditya Ferdana Putra adalah mahasiswa program studi S1 Ilmu Administrasi Negara di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Ia berasal dari daerah pesisir Suramadu, Surabaya, dan memiliki kebiasaan unik menikmati tahu tek sebagai camilan tengah malam.
Editor : Iwan Iwe