Belakangan ini, saya menyaksikan dan merasakan sendiri munculnya konflik antarpersonal di beberapa instansi dan organisasi yang bersinggungan dengan profesi saya sebagai dosen ilmu komunikasi sekaligus praktisi kehumasan. Perselisihan kecil sering kali berujung pada kelelahan emosional, bahkan keinginan untuk burn-out alias "mutung", menyerah atau menarik diri dari situasi. Dalam beberapa kasus, saya justru berada di posisi yang mendukung langkah itu, bukan karena setuju pada kemarahannya, tapi karena memahami proses emosinya.
Fenomena ini mengingatkan saya pada falsafah Jawa: ngalah, ngalih, ngamuk. Sebuah ungkapan sederhana yang menggambarkan tahapan emosi manusia saat menghadapi tekanan berulang. Meskipun berakar dari kearifan lokal, filosofi ini relevan dalam ilmu komunikasi modern, khususnya bagi praktisi humas, karena menyentuh tiga aspek penting: manajemen konflik, ketahanan emosi, dan kepekaan dalam membangun komunikasi interpersonal yang lebih bijak.
Ngalah: Strategi Awal Komunikasi yang Bijak
Ngalah berarti mengalah. Dalam konteks komunikasi organisasi, ini mencerminkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk mendengar lebih banyak ketimbang berbicara. Seorang Humas yang baik tidak selalu menuntut agar pendapatnya didengar terlebih dahulu, tetapi mampu membaca situasi, meredam ego, dan memberi ruang pada pihak lain untuk menyampaikan pandangan.
Baca Juga : Menyelami Makna Hari Kartini: Bukan Sekadar Ajang Pamer Kebaya
Dalam teori komunikasi interpersonal, sikap ngalah ini sejalan dengan prinsip emphatic listening atau active listening, yaitu mendengarkan secara penuh tanpa menginterupsi, memahami pesan secara emosional, dan menanggapi dengan empati. Ini penting terutama saat menghadapi pihak internal yang sedang resisten terhadap suatu kebijakan atau perubahan.
Contohnya, dalam forum koordinasi antar unit kerja, ketika terjadi perbedaan pandangan soal strategi komunikasi pimpinan, seorang Humas yang ngalah bisa mengambil posisi moderator, menyatukan suara tanpa memperkeruh situasi. Ia tidak terburu-buru meng-counter argumen, melainkan mencatat, mencermati, dan merumuskan pendekatan kompromi.
Ngalih: Menjauh Bukan Berarti Lemah
Baca Juga : Sepak bola dan Budaya Pop
Tahapan selanjutnya adalah ngalih, yang berarti menjauh atau menghindar. Ini bukan bentuk lari dari masalah, tetapi pilihan strategis untuk memberi ruang, mendinginkan situasi, dan mencari perspektif baru. Dalam konteks organisasi, ini bisa berarti mengambil jeda komunikasi (communication pause) untuk mencegah eskalasi konflik.
Seorang Humas yang menyadari bahwa koordinasi telah terlalu panas, bisa memutuskan untuk menunda pembahasan ke waktu lain, atau mengalihkan isu ke ranah yang lebih netral. Dalam psikologi komunikasi, ini dikenal sebagai teknik de-escalation, strategi untuk meredam tensi melalui penundaan atau reposisi topik.
Contoh lain, ketika terjadi miskomunikasi antara bagian Humas dan bagian teknis dalam penanganan krisis, dan suasana mulai memanas, ngalih adalah momen reflektif untuk berpikir ulang: Apakah cara menyampaikan sudah tepat? Apakah kanal komunikasi yang dipakai sesuai? Atau justru ego yang terlalu tinggi?
Baca Juga : Debat Pilkada: Ruang Adu Gagasan atau Ajang Emosi?
Ngamuk: Alarm yang Seharusnya Tidak Sampai Bunyi
Tahapan terakhir dan ekstrem adalah ngamuk, meledaknya emosi setelah sabar dan menjauh tidak lagi berhasil. Dalam konteks organisasi, ngamuk bisa bermakna ledakan konflik terbuka, ketidakharmonisan antarunit, bahkan silent protest seperti pasif-agresif atau sabotase komunikasi.
Bagi seorang PR, ngamuk adalah alarm kegagalan komunikasi internal. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sebelumnya tidak berhasil menjembatani kepentingan. Dalam teori komunikasi organisasi, hal ini bisa disebabkan oleh noise, baik secara teknis (saluran komunikasi yang buruk) maupun psikologis (prasangka, ketidakpercayaan, atau tekanan emosional).
Baca Juga : Kampanye Layaknya Panggung Pertunjukan, Rakyat Hanya Jadi Target Suara?
Contoh nyata ngamuk bisa terlihat dalam bentuk blast email atau chat panjang yang penuh emosi, postingan media sosial yang menyindir organisasi sendiri, hingga sikap sinis yang diam-diam menurunkan kinerja tim. Jika sudah seperti ini, kerja Humas menjadi berat, karena harus memulihkan bukan hanya citra eksternal, tapi juga harmoni internal.
Pelajaran Strategis untuk Humas
Mengapa falsafah “ngalah, ngalih, ngamuk” penting bagi Humas? Karena Humas bukan hanya berbicara pada publik eksternal. Humas juga harus mampu menjembatani komunikasi internal organisasi, memastikan bahwa narasi yang dibangun diterima dengan hati terbuka, dan konflik dapat dikelola sebelum meledak.
Baca Juga : Koalisi Politik: Menguntungkan atau Mengikat?
Humas perlu memahami komunikasi sebagai proses psikososial, bukan sekadar proses menyampaikan pesan. Budaya kerja, latar belakang personal, ego antarunit, bahkan trauma masa lalu di organisasi, semua bisa menjadi faktor gangguan komunikasi. Maka, kepekaan terhadap dinamika emosi seperti yang tercermin dalam ngalah-ngalih-ngamuk sangat relevan.
Dalam pendekatan PR modern, hal ini bisa dijembatani dengan strategi:
- Empati dan observasi: membaca tanda-tanda ketegangan sejak dini
- Membangun forum internal: menciptakan ruang dialog reguler agar tidak menumpuk
- Pola komunikasi non-konfrontatif: meminimalisir konflik terbuka melalui pendekatan partisipatif
- Konseling komunikasi: menjadi tempat curhat aman bagi rekan kerja tanpa menghakimi
Menjadi Humas yang Memahami Rasa
Ungkapan “ngalah, ngalih, ngamuk” mengajarkan bahwa emosi tidak bisa ditekan terus-menerus. Ia perlu dikelola dengan kearifan. Bagi seorang Humas, memahami ritme batin ini bisa menjadi kekuatan dalam merancang komunikasi yang bukan hanya strategis, tetapi juga berjiwa.
Humas yang efektif adalah ia yang mampu menjembatani kepentingan, menenangkan yang panas, dan menghidupkan yang sunyi. Ia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memelihara kepercayaan dan perasaan. Sebab dalam dunia PR, komunikasi yang berhasil adalah komunikasi yang menyentuh, bukan yang hanya terdengar.
Mari kita jadikan falsafah Jawa ini bukan sekadar “pepiling”, tapi juga panduan etis dalam praktik komunikasi modern, khususnya bagi humas.
*) Dosen dan Public Relations Practitioner, tinggal di @zainjatim dan zainjatim.blogspot.com
Editor : Iwan Iwe