Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam dunia pendidikan. Banyak anak muda yang awalnya memiliki potensi untuk menjadi guru atau tenaga pendidik merasa ragu untuk terjun ke profesi tersebut setalah melihat fakta di lapangan.
Kebijakan-kebijakan yang sering berubah dan kurang matang, ditambah pengalaman siswa yang sering menjadi “kelinci percobaan” menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan sistem pendidikan di negara ini.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia membutuhkan pembenahan serius untuk memastikan kualitas pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Salah satu masalah utama dalam pendidikan indonesia adalah rendahnya kesejahteraan guru.
Baca Juga : Guru Serbu BNN Urus Surat Bebas Narkoba
Meskipun profesi guru sering disebut sebagai pekerjaan mulia karena memiliki peran yang besar dalam membentuk generasi penerus bangsa, tetapi faktanya tidak demikian.
Penghargaan dan upah terhadap guru masih jauh dari kata layak.
Banyak guru honorer yang harus bertahan dengan gaji yang jauh di bawah standar layak, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Beban kerja mereka yang melampaui tugas utama mengajar, ditambah tekanan ekonomi, sering kali memaksa mereka mencari pekerjaan sampingan.
Ironisnya, penghargaan finansial yang rendah ini berbanding terbalik dengan tuntutan terhadap profesionalisme guru yang terus meningkat.
Masalah lainnya adalah program Pendidikan Profesi Guru (PPG), yang diharuskan bagi siapa saja yang ingin menjadi guru profesional.
Program ini tidak hanya memberatkan mahasiswa pendidikan yang sudah menempuh pendidikan selama empat tahun, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan.
Mahasiswa dari jurusan pendidikan merasa bahwa kurikulum mereka seharusnya sudah cukup mempersiapkan mereka sebagai guru tanpa harus mengikuti program tambahan.
Namun, kenyataannya, mereka tetap diwajibkan mengikuti PPG, yang membutuhkan biaya dan waktu tambahan.
Di saat yang sama, guru juga harus menghadapi berbagai tuntutan administratif seperti mengunggah perangkat ajar, mengikuti evaluasi, hingga menyelesaikan berbagai pelatihan yang seolah hanya formalitas.
Sayangnya, output dari kebijakan ini sering kali nihil karena pemerintah tidak melakukan uji coba atau memikirkan dampaknya dalam jangka panjang.
Perubahan kurikulum yang terus terjadi juga menjadi salah satu masalah terbesar. Guru harus selalu menyesuaikan metode pengajaran mereka dengan kurikulum baru yang sering kali berubah tanpa evaluasi yang jelas.
Hal ini menjadi tantangan khususnya bagi guru yang sudah tidak muda lagi, karena mereka kesulitan beradaptasi dengan sistem baru.
Dampaknya, kualitas siswa yang diajarkan juga menurun. Banyak siswa di tingkat SD hingga SMA yang masih kesulitan dalam kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pendidikan sering kali terlihat hanya berfokus pada inovasi sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Kritik semakin banyak terdengar, terutama di era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, di mana beberapa program dianggap kurang matang dan hanya sekadar eksperimen tanpa memperhatikan dampak jangka panjang.
Penghapusan Ujian Nasional (UN) pada masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu contoh kebijakan yang terkesan tergesa-gesa.
Kebijakan ini memang didasari alasan yang masuk akal, tetapi dampaknya terhadap siswa sangat besar. Banyak siswa yang kehilangan kesempatan untuk mengukur kemampuan mereka secara objektif.
Selain itu, kebijakan mendadak seperti penghapusan tes akademik dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan menggantinya dengan tes skolastik justru menambah kebingungan.
Meskipun tujuan perubahan ini untuk mengurangi ketergantungan siswa pada lembaga bimbingan belajar, realitas di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya.
Banyak siswa yang justru semakin bergantung pada bimbingan belajar untuk mempersiapkan tes skolastik.
Kebijakan ini tidak hanya membingungkan siswa, tetapi juga guru yang kurang familier dengan materi skolastik, sehingga mereka pun harus belajar lebih dahulu untuk mengajarkan siswa. Kebijakan mendadak ini hanya menambah kompleksitas tanpa memberikan solusi nyata.
Harapan besar pendidikan Indonesia kini tertuju pada pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Semoga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat secara perlahan menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang pendidikan, mulai dari kesejahteraan guru, akses pendidikan yang merata di seluruh daerah, hingga kurikulum yang lebih stabil dan relevan.
Dengan kebijakan yang lebih terencana dan berbasis solusi nyata, semoga pendidikan Indonesia mampu mencetak generasi unggul dan membawa bangsa ini menuju visi Indonesia Emas 2045.
*) Raissa Yassmein, mahasiswa program studi S1 Ilmu Administrasi Universitas Negeri Surabaya.
Editor : Khasan Rochmad