SURABAYA - Sidang kasus dugaan perzinahan dengan terdakwa Pratu RA di Pengadilan Militer Surabaya, akan memasuki pembacaan tuntutan, pada Rabu (27/8/2025).
Menjelang pembacaan tuntutan, Yasin Nur Alamsyah Hidayat Ali Samiaji, S.H., M.H, kuasa hukum saksi Dewi Wulandari, meminta Oditur Militer bersikap obyektif. Tidak hanya itu, Yasin meminta Oditur Militer mengutamakan rasa keadilan.
"Kami memahami bahwa secara formal, klien kami berstatus sebagai saksi, bukan sebagai pihak terdakwa. Namun, dugaan perzinahan selalu melibatkan dua orang atau lebih. Oleh karena itu, apa pun bunyi tuntutan terhadap terdakwa akan berdampak langsung pada kehormatan dan nama baik klien kami. Karena itu, tuntutan itu harus lahir dari rasa keadilan," ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Senin (25/8/2025).
Jika tuntutan tersebut keliru, lanjutnya, publik akan menganggap saksi Dewi Wulandari ikut bersalah.
"Untuk itu, kami berkepentingan memastikan bahwa tuntutan yang diajukan harus objektif berdasarkan fakta persidangan dan tidak membuka ruang untuk kriminalisasi terhadap saksi yang tidak bersalah. Keadilan substantif harus menjadi pijakan agar klien kami, yang tidak terbukti bersalah, tidak ikut menjadi korban. Kami menolak tuntutan hanya dijadikan alat pembenaran atas dakwaan yang faktanya dari persidangan sangat rapuh," tambahnya.
Yasin menyatakan, bahwa dalam kasus tersebut fakta persidangan harus menjadi tolak ukur. Karena mengabaikan fakta persidangan dipastikan akan mengingkari kebenaran.
"Fakta persidangan yang sudah dilalui bersama menunjukkan bahwa tuduhan (dugaan perzinahan) terhadap klien kami (Dewi) tidak berdasar. Kesaksian klien kami di bawah sumpah dan hasil Uji Grafonomi terhadap beberapa bukti yang dituduhkan, faktanya tidak benar. Mengabaikan fakta di persidangan sama dengan mengingkari kebenaran yang sesungguhnya. Oditur militer, sebagai bagian dari TNI, memiliki jiwa kesatria. Jika memang benar katakan benar, jika salah harus diakui. Dakwaan yang tidak terbukti jangan dipaksakan untuk dianggap benar," terang Yasin.
Selain itu, kata Yasin, Oditur Militer harus berhati-hati dalam merumuskan dan menjatuhkan tuntutan dalam kasus yang dianggap minim bukti tersebut. Ia menilai, setiap kata dalam tuntutan akan menjadi rujukan hukum dan berimplikasi langsung terhadap nasib seseorang.
"Tuntutan yang terburu-buru, tidak objektif, dan mengabaikan fakta persidangan justru akan mencederai rasa keadilan dan merusak marwah institusi militer itu sendiri," tandasnya.
Bahkan sebagai praktisi hukum, Yasin menolak keras upaya menjadikan proses hukum sebagai sarana kriminalisasi. Karena tuduhan yang tidak terbukti hanya akan melahirkan ketidakadilan baru.
"Lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Jangan sampai hukum berubah menjadi alat untuk mengorbankan yang lemah," ungkap Yasin.
Tidak hanya itu, Yasin berharap, Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ini mendasarkan pertimbangannya pada fakta persidangan, bukan pada BAP (berita acara pemeriksaan) yang dinilai cacat prosedur.
"Keadilan akan dapat ditegakkan apabila putusan dibangun atas dasar kebenaran. Kami percaya peradilan militer akan menjunjung tinggi kehormatan hukum dan menjaga nama baik institusi dengan menjadikan kebenaran sebagai dasar utama," kata dia lagi.
Sedangkan ketika disinggung, apakah layak Oditur Militer menjatuhkan tuntutan bebas jika memang fakta di persidangan terungkap bahwa kasus tersebut tidak cukup bukti? Menurutnya, hal itu sangat mungkin terjadi jika Oditur Militer benar-benar obyektif dan melihat fakta persidangan yang ada.
"Jika Oditur Militer menjatuhkan tuntutan bebas, kami akan sangat mengapresiasinya, karena itu berarti mereka melihat fakta persidangan yang ada. Itu berdasarkan fakta persidangan dan keterangan ahli, sangat mungkin dituntut bebas. Karena peran Oditur Militer bukanlah untuk mencari kesalahan, melainkan untuk mengawal keadilan," urainya.
Yasin juga memaparkan, bahwa dalam kasus dugaan perzinahan sebagaimana dakwaan Oditur Militer melanggar Pasal 284 KUHP jo Pasal 281 KUHP, ternyata tidak ditemukan alat bukti kuat yang dapat didalilkan atas kasus tersebut. Bahkan, bukti yang diajukan pelapor Letkol TNI DAW berupa tulisan diatas potongan kertas juga dibantah oleh Hasil Uji Grafonomi, yaitu uji autentifikasi tulisan tangan. Hasil Uji Grafonomi disebutkan bahwa tulisan yang diajukan sebagai alat bukti tersebut tidak identik dengan tulisan milik Dewi. Sehingga alat bukti itu diduga hasil rekayasa untuk menjatuhkan nama baik Dewi yang dituduh berzinah dengan ajudannya Pratu RA.
"Barang bukti yang diajukan oleh pelapor adalah beberapa potongan kertas berisi percakapan. Dan bukti-bukti ini telah kami bantah dengan hasil Uji Grafonomi yang hasilnya menunjukkan tidak identik dengan tulisan tangan klien saya. Selain itu, tidak ada satu pun bukti persetubuhan, seperti yang dituduhkan dalam dakwaan Oditur Militer," tambahnya.
Seperti diketahui, kasus dugaan perzinahan ini berawal dari laporan Letkol DAW, yang pada saat itu menjabat Danyonzipur 4/TK Kodam IV Diponegoro. Ia melaporkan ajudannya Pratu RA dengan tuduhan perzinahan dengan istrinya Dewi. Meski dengan alat bukti yang dinilai cukup minim, kasus tersebut tetap bergulir ke Pengadilan Militer III-12 Surabaya, dengan nomor perkara: 98-K/PM.III-12/AD/VII/2025 dengan terdakwa Pratu RA. Dan Pratu RA didakwa telah melanggar Pasal 284 KUHP jo Pasal 281 KUHP. (*)
Editor : M Fakhrurrozi