SURABAYA - Di balik ketokohan Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan, sejarah mencatat peran penting sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Berkat dukungan dan pandangannya yang lebih maju dari zamannya, Kartini mendapat kesempatan langka, bersekolah di Europese Lagere School (ELS) hingga usia 12 tahun. Sebuah kemewahan yang jarang dinikmati anak perempuan kala itu.
Lebih dari seabad setelah RA Kartini, kisah serupa tentang cinta ayah dan kemajuan anak perempuan kembali terpatri dalam keluarga sederhana asal Sidoarjo. Dari pasangan Firman Talkah dan Suwartini, lahirlah lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki. Tiga di antara anak perempuan itu kini menyandang gelar profesor.
Anak pertama, Prof. (R) Dr. Ir. Anita Firmanti, MT, dikenal sebagai guru besar dan periset andal yang pernah menjabat sebagai Sekjen Kementerian PUPR pada 2023. Anak kedua, Prof. Dr. Anggraini Dwi S., dr., SpRad., Subsp.NKL(K), menjadi guru besar di bidang neuroradiologi. Sementara anak ketiga, Prof. Dr. Aktieva Tri Tjitrawati, S.H., M.Hum, mendalami hukum kesehatan nasional.
Anggraini mengenang ayahnya sebagai sosok yang penuh kasih, disiplin, dan visioner. Dulu, sang ayah melihat tantangan masa depan seorang guru, sehingga memutuskan untuk menempuh pendidikan sebagai akuntan demi masa depan keluarga. Keluarga ini pun tinggal di kawasan padat penduduk di Surabaya, Kampung Malang.
“Bapak saya ingin anak perempuan harus maju. Beliau mendidik kami menjadi perempuan yang mandiri dan dominan,” ujar Anggraini mengenang.
Ia masih ingat betul bagaimana ayahnya ikut mengantar anak-anak vaksin, bahkan menggandeng atau menggendong mereka satu per satu. Ada pula momen ketika ia diminta berjalan kaki dari rumah ke Plaza Surabaya saat latihan pramuka kelas 3 SD. "Dari kecil kami sudah dididik mental dan tanggung jawab,” tuturnya.
Sang adik, Aktieva, juga menyimpan kenangan yang tak kalah hangat. "Bapak selalu mendampingi kami setiap hari. Saat saya studi di luar negeri, saya selalu menyempatkan menelepon, hanya untuk tetap bisa bicara dengan beliau. Rasanya ada yang kurang kalau nggak cerita ke bapak," kenangnya.
Kehangatan itu bahkan terus berlanjut ke generasi cucu. “Cinta kasihnya luar biasa. Mungkin karena beliau yatim piatu, kasih sayangnya dilimpahkan sepenuhnya ke keluarga. Bahkan beliau mendampingi kami hingga merayakan 50 tahun pernikahan,” katanya.
Kesadaran akan peran besar sang ayah dalam keberhasilan mereka mendorong keluarga ini menulis sebuah buku, sebagai bentuk penghargaan sekaligus warisan nilai. Mereka menceritakan bagaimana kerasnya hidup di Kampung Malang, dikelilingi praktik judi dan miras, hingga akhirnya sang ayah memutuskan pindah ke Mulyosari demi lingkungan yang lebih baik.
Ketiga putri Firman Talkah kini telah berdiri kokoh di puncak akademik, sebagai profesor di bidangnya masing-masing. Namun perjuangan belum usai. Bahkan setelah sang ayah wafat, Anggraini mendaftar S3 di usia lebih dari 50 tahun.
“Rasanya seperti ingin memenuhi janji pada bapak. Apalagi yang mengharukan, bapak kami selalu hadir di semua momen wisuda kami. Termasuk wisuda S3 adik saya. Itulah kenangan yang tak ternilai,” ucapnya haru.
Di tengah riuh perjuangan dan pencapaian mereka, ada satu pesan yang tetap abadi, yaitu keyakinan bahwa perempuan punya hak dan kesempatan untuk berkembang, sejajar dengan laki-laki. Seperti kata Anggraini, "Kami percaya, perempuan pun punya kesempatan untuk berkembang dan mengisi berbagai bidang keilmuan sesuai potensi dan ketekunannya.” (*)
Editor : A. Ramadhan