Setiap hari, dunia terus bergerak maju dengan melahirkan berbagai inovasi, fenomena, dan perkembangan baru. Salah satu contohnya adalah kemajuan teknologi di era digital saat ini yang berdampak besar pada cara masyarakat mendapatkan informasi dan berinteraksi. Media sosial, sebagai salah satu produk hasil dari revolusi teknologi informasi, berperan sebagai platform yang menghubungkan penggunanya di seluruh dunia. Hal ini menjadikan media sosial sebagai sarana utama bagi masyarakat untuk mencari dan mendapatkan informasi dengan cepat.
Ketika informasi yang banyak diminati oleh penggemar tersebar luas, hal ini dapat memunculkan tren baru yang menciptakan sebuah fenomena yang harus diikuti oleh para pengamatnya. Namun, alih-alih dianggap sebagai 'tren kekinian', apakah sebenarnya ini justru menjadi 'ancaman mematikan'? Dan bagaimana hal itu bisa terjadi?
Secara tidak langsung tuntutan mengikuti tren ini akan muncul pada benak seseorang. Banyak faktor yang melandasi hal tersebut, salah satunya ialah julukan paling terkenal yaitu FoMO atau Fear of Missing Out. JWT Intelligence menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fenomena FoMO pada individu, di antaranya yaitu adanya kemudahan dalam mengakses informasi di media sosial.
Menurut Przybylski et al., (2013) fenomena FoMO ini merupakan ketakutan yang dirasakan oleh individu jika mereka melewatkan suatu momen berharga yang dilakukan oleh orang lain tanpa keterlibatan mereka pada momen tersebut. Mudahnya, perasaan seperti tidak ingin ketinggalan zaman, mencari validasi pengakuan emosional, tidak ingin dianggap kuno dan selalu ingin terlihat kekinian terlahir dari perasaan FoMO yang dimaksud.
Dengan memperhatikan fenomena ini, industri fashion dan kecantikan menyadari bahwa ini adalah peluang besar untuk keberlanjutan bisnis mereka. Sebabnya, fashion telah menjadi elemen tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Meskipun fungsi primernya adalah sebagai pelapis tubuh dan dekorasi, gambaran kepribadian dan ciri khas seseorang juga ditentukan oleh fashion.
Melalui fashion, kita memiliki sebuah medium komunikasi non-verbal. Selain itu, fashion juga berperan sebagai ekspresi diri dan gaya hidup harian individu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sektor ini terus berkembang dengan sangat pesat dari waktu ke waktu, sehingga muncul istilah Fast Fashion Beauty.
Fast Fashion Beauty ialah istilah dimana suatu produk (Fashion dan Kecantikan) yang diproduksi dan didistribusi secara cepat untuk mengikuti tren yang terus berkembang (Rahmawati, 2024). Pelaku bisnis fashion beauty mengembangkan bisnis mereka dengan taktik jitu yang tercipta dari fenomena tersebut. Mereka memproduksi produk-produk sesuai dengan keinginan konsumen yang diadaptasi dari tren masa kini. Kemudian, peningkatan ketertarikan dari perilaku FoMO ini membuat pelaku bisnis fashion beauty melakukan produksi dalam skala besar secara kontinyu dengan harga terjangkau.
Dalam strategi pemasaran mereka, fast fashion lebih mengutamakan kecepatan dalam merespons fenomena sosial sebagai acuan untuk menciptakan desain dan produk baru. Menurut Choi, Liu, Mak, dan To dalam Oktadwianti (2019), fast fashion menerapkan prinsip siklus pendek dalam proses produksi, sehingga konsumen merasakan kehadiran fast fashion sebagai sesuatu yang sangat tren karena cepat dan efisien. Inilah yang memungkinkan fast fashion untuk diproduksi secara berkelanjutan, bahkan dengan siklus yang berlangsung kurang dari sebulan. Di Indonesia, sebelumnya hanya terdapat dua musim koleksi fashion dalam setahun.
Namun saat ini, industri fashion memiliki 52 mikro musim dalam satu tahun (Bestari, 2020). Ini berarti bahwa setiap minggu akan ada model dan tren baru yang muncul. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika konsumen dan penggemar fashion sangat antusias terhadap fast fashion, karena tren ini menawarkan berbagai model yang kasual dan modis kepada pembeli dengan embel-embel harga yang terjangkau dibandingkan dengan jenis tren fashion lainnya. Fast fashion memberikan kepuasan kepada konsumennya, sebab mereka merasa diuntungkan untuk dapat mengikuti tren yang ada.
Tak berhenti sampai disitu, pelaku fashion beauty juga menambah strategi cerdik mereka dengan cara membeli kepercayaan konsumen. Hal ini dilakukan melalui promosi yang menggaet seorang publik figur ternama, seperti seorang artis atau influencer. Mereka ialah seorang individu yang memiliki pengaruh di media sosial untuk mempromosikan produk atau jasa. Menurut Brown & Hayes (2008:10), influencer marketing adalah pendekatan baru yang paling signifikan dalam pemasaran selama dekade terakhir, terutama bagi para profesional yang terlibat dalam pengambilan keputusan pembelian.
Secara umum, istilah "influencer" dapat diartikan sebagai kekuatan untuk memengaruhi individu, objek, atau jalannya suatu peristiwa. Melihat hal tersebut, Alfiannor (2024) berpendapat bahwa pemasaran yang berkolaborasi dengan influencer memungkinkan perusahaan memanfaatkan hubungan dan kepercayaan yang telah terbangun antara influencer dengan pengikutnya untuk mendorong minat beli konsumen.
Lantas mengapa uraian fenomena tadi dapat menjadi sebuah ancaman bagi keberlanjutan era modern?
Perlu diketahui, saat ini seluruh negara terutama Indonesia memiliki 17 Tujuan Keberlanjutan Global, dan fenomena ini sangat berpotensi menghambat pencapaian tujuan tersebut. Salah satunya pada poin 12 yakni Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab. Berangkat dari perilaku konsumtif berlebihan yang dipicu oleh faktor-faktor di atas, menimbulkan pemborosan yang tidak bertanggungjawab. Di balik kemudahan dan keterjangkauan yang ditawarkan, hal ini membawa dampak buruk yang kompleks.
Dalam waktu produksinya, fast fashion mengutamakan waktu yang cepat dan pakaian dapat dipakai dengan jangka pendek, sehingga para produsen akan menggunakan bahan baku dengan kualitas rendah dan menyebabkan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan hingga pencemaran lingkungan dalam skala besar. Industri ini dikenal sebagai salah satu penyebab utama degradasi lingkungan global, dengan konsumsi air yang tinggi, penggunaan bahan kimia berbahaya, dan produksi limbah dalam jumlah besar. Selain itu, rantai pasokan global yang diterapkan oleh industri ini menghasilkan emisi karbon yang signifikan, berkontribusi pada perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Mengutip dari CNBCIndonesia.com, Co-Founder Our Reworked World mengungkapkan bahwa polutan yang dihasilkan oleh industri fashion mencapai angka 33 ton. Selain banyaknya polutan yang dihasilkan, banyak pelaku industri fast fashion yang membuang limbah tersebut ke laut atau sungai. Perilaku ini pada akhirnya merusak ekosistem dan lingkungan yang terpapar, serta menghasilkan gas metana (Leman, Pd, dkk., 2020). Ini semua disebabkan oleh perilaku konsumen yang didasai dari pesatnya perkembangan di era modern saat ini.
Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita menjadi konsumen yang bijak dalam menghasilkan sebuah keputusan, terutama dalam mengonsumsi sesuatu. Keputusan ini tidak hanya semata-mata berpengaruh kepada diri sendiri saja, tetapi akan berdampak luas terhadap lingkungan sekitar kita. Sebagai individu yang bijak, kita harus bersikap serasional mungkin. Apakah hal tersebut memang benar-benar didasari oleh kebutuhan kita atau justru hanya sekedar keinginan kita? Jangan sampai gengsi terhadap suatu tren terkini menjadi sebuah ancaman yang menyiksa diri. (*)
*) Saffanah Ghefira Ghaitsa Rachmadi, Mahasiswi S1 Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga
Editor : Iwan Iwe