Saya tumbuh di keluarga yang sering membandingkan saya dengan saudara-saudara saya. Ada yang sukses di bidang bisnis, ada yang kariernya cepat naik, dan saya selalu dianggap yang ‘kurang’. Setiap Lebaran atau kumpul keluarga, komentar seperti ‘kapan nyusul?’ atau ‘kok kamu masih segini-segini saja?’ selalu membuat saya menahan air mata. Lama-lama saya jadi merasa kemampuan saya tidak ada apa-apanya dibanding orang lain.
Padahal saya sudah berusaha keras di hidup saya sendiri. Saya bekerja, menabung, dan mencoba mandiri, tetapi rasanya selalu kurang di mata mereka. Saya ingin punya rasa percaya diri yang stabil tanpa harus terpengaruh omongan keluarga, tapi pikiran negatif itu sering muncul lagi. Bagaimana cara membangun kepercayaan diri ketika lingkungan terdekat justru sering meruntuhkannya?
Yuliana, Malang
Halo Bu Yuliana, terima kasih sudah mau berbagi cerita yang sedalam ini. Dari yang Anda bagikan, saya bisa menangkap betapa melelahkannya terus-menerus dibandingkan dengan saudara sendiri, lalu setiap kumpul keluarga seolah diingatkan lagi bahwa Anda dianggap “paling kurang”. Rasa sedih, minder, dan ragu pada kemampuan diri dalam situasi seperti itu sangat wajar. Ini bukan karena Anda lemah, tapi karena selama ini Anda sering berada dalam lingkungan yang terbiasa menilai dan membandingkan, bukan memahami.
Secara psikologis, kalau sejak lama kita sering dibandingkan, pelan-pelan otak belajar pola bahwa nilai diri = seberapa besar pencapaian dibanding orang lain. Akibatnya, suara keluarga itu seperti pindah ke dalam kepala dan menjadi suara batin: “Aku memang kalah, hidupku biasa saja.” Padahal, dari cerita Anda, Anda bekerja, menabung, dan berusaha mandiri. Itu semua adalah tanda bahwa Anda berfungsi sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab, dan itu patut dihargai, meski bentuknya tidak sama dengan prestasi saudara-saudara Anda.
Untuk mulai membangun kepercayaan diri, ada dua hal penting. Pertama, belajar membedakan mana “suara keluarga” dan mana “suara diri sendiri”. Saat muncul pikiran, “Aku kok masih segini-segini saja,” coba berhenti sejenak dan tanyakan: “Ini fakta, atau ini hanya kalimat yang dulu sering aku dengar dari orang lain?” Lalu jawab dengan lebih adil: “Aku mungkin belum seperti mereka, tapi aku sedang berproses, bekerja, dan bertanggung jawab atas hidupku.” Kedua, Anda berhak punya batas terhadap komentar yang menyakitkan. Anda boleh menjawab singkat tapi sopan, misalnya: “Aku lagi jalan di jalanku sendiri, ya. Doakan saja yang terbaik,” atau mengalihkan topik, atau mengambil jarak sebentar saat hati terasa terlalu penuh.
Di luar itu, penting juga untuk punya lingkungan lain yang lebih suportif, seperti teman, komunitas, atau psikolog yang bisa melihat Anda bukan sebagai “yang kurang”, tetapi sebagai pribadi utuh yang punya perjuangan dan nilai. Anda tidak harus memenuhi standar keluarga untuk bisa merasa berharga. Anda berhak mendefinisikan sendiri arti “hidup yang baik” dan melihat diri Anda dengan lebih lembut dan lebih adil.
Prisca Eunike, S.Psi., M.Psi., Psikolog
School of Psychology, Universitas Ciputra Surabaya
https://www.ciputra.ac.id/psy/
Jika Anda warga Jawa Timur yang memiliki pertanyaan atau ingin berkonsultasi melalui rubrik Curhat Warga di Portal JTV, kami akan mencarikan pakar untuk menjawab permasalahan Anda. Silakan kirimkan curhatan Anda via DM Instagram @portaljtvcom atau klik link ini: bit.ly/CurhatWargaJTV.
Kami akan menampilkan solusi dari pakar yang sesuai dengan masalah yang Anda hadapi. Tetap semangat, dan jangan ragu untuk berbagi cerita!
Editor : Iwan Iwe




















