SURABAYA - Dunia film animasi Indonesia saat ini sedang menarik perhatian dengan hadirnya film animasi berjudul Jumbo. Proyek karya anak bangsa ini telah ditonton lebih dari 4 juta penonton, sejak tayang perdana pada 31 Maret 2025 lalu. Dibalik sukses film berdurasi 102 menit itu, terselip kisah perjuangan seorang seorang arek Suroboyo yang turut memberi nyawa pada karakter-karakter didalamnya. Dia adalah Maximillian Serafino Suprapto, lulusan International Program in Digital Media (IPDM) Universitas Kristen Petra Surabaya.
Dalam proyek film yang memakan waktu hingga lima tahun tersebut, Max menjadi satu diantara 420 kreator Indonesia yang terlibat. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menghadirkan Jumbo ke bioskop tanah air. Max terlibat selama empat bulan untuk menuntaskan bagiannya.
“Senang sekali bisa ikut terlibat menjadi salah satu animator film Jumbo, yang bahkan mendapat sambutan hangat di masyarakat,” ujarnya antusias.
Perjalanan Max menuju proyek besar itu bermula saat ia menjalani magang di Ayena Studio, Bandung. Di studio tersebut Max mendapat kepercayaan mengerjakan berbagai tahapan animasi, mulai dari Blocking, Animating hingga proses Clean-up.
Max menjelaskan, pada dasarnya proses animasi film Jumbo ini harus melalui empat tahapan, yaitu Layouting, Blocking, Animating, dan terakhir Clean-up. Pada tahap awal, yakni Layouting, animator harus mengatur penempatan set environment serta karakter sesuai storyboard. Sedangkan di tahap Blocking, animator mulai fokus ke karakternya. Dalam proses ini, animator mengatur gerak karakter agar sesuai dengan alur cerita dan timing yang presisi.
“Sederhananya mencari gerakan karakter (body mechanic) yang realistis dan meyakinkan hingga terasa sangat nyata. Dalam tahapan ini gerakannya masih patah-patah,” tambah Max.
Tugas Max tak berhenti di situ. Ia juga memoles gerakan kasar menjadi animasi yang lebih halus dan natural pada tahap Blocking. Di tahap Clean-up, ia menyempurnakan detail seperti gerakan rambut, aksesoris, hingga elemen kecil yang memperkaya kualitas visual. Semua itu harus diselesaikan sambil menjaga standar kualitas dan ketepatan waktu.
Selanjutnya, hasil animasi akan berlanjut ke proses Lighting, Rendering, dan Compositing (LRC) hingga akhirnya bisa digunakan dalam animasi final. Max mengaku selama 4 bulan dalam mengerjakan bagiannya, lika-liku dan tantangan tak bisa dihindari.
“Yang paling menantang adalah mengikuti standar animasi serta memiliki kecepatan untuk memenuhi target mingguan. Karena kemampuan animasi 3D saya masih belum terlalu banyak saat itu, jadi butuh kerja lebih ekstra,” kata pemuda yang telah resmi lulus pada bulan September 2024 lalu.
"Ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan untuk saya, dan bisa menjadi bekal saya dalam dunia film animasi ke depan," imbuhnya
Robby UL Pratama, S.E., CEO Ayena Studio, turut mengapresiasi kontribusi Max dalam proyek ini. Dalam keterangannya, ia menyebut Max sebagai animator muda yang cepat belajar dan mampu menyesuaikan diri dengan kualitas produksi.
“Max merupakan salah satu tim kami saat mengerjakan project film Jumbo. Dia sangat cepat belajar dan mampu beradaptasi. Kemampuan itu membuat Max bisa menyesuaikan kualitas karya animasinya dengan yang diinginkan klien, terutama di film Jumbo ini yang memiliki kualitas cukup tinggi,” ujar Robby.
Keberhasilan Jumbo bukan hanya pencapaian industri animasi nasional, tetapi juga menyalakan harapan baru bagi para animator muda Indonesi, di tengah tantangan industri kreatif yang kini bersaing dengan teknologi kecerdasan buatan.(*)
Editor : A. Ramadhan