KUHANTARKAN kenangan perjalanan lebaran ini untuk pembaca. Wilujeng Boboran Shiyam, 1 Syawal 1444 H. Hapunten Lahir Tumekaning Batin. Itulah ungkapan tulus yang kuhantar untuk seluruh keluarga dan handai taulan di Tatar Sunda. Ungkapan yang mengintisari dalam lantun Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Shiyamana wa Shiyamakum, Kullu’aamiin wa Antum Bikhair, Minal Aidin wal Faidzin. Inilah langgam cinta yang berkelambu tauhid pada periodesasi “orang-orang beriman” terpanggil berpuasa dalam mongso Ramadan 1444 H. Syawal adalah “panen raya” kemenangan dengan “kurikulum” Shalat Ied berjamaah di lapangan maupun di masjid-masjid. Berbagai titik koordinat kota-kota seluruh dunia terpendarkan manusia yang menyujudkan diri dalam “jalan syahadah” sambil melafalkan takbir, tahmid dan tahlil. Gemahnya mengkristal dalam hati yang akan terus direngkuh dan dirindukan sehingga setiap muslim yang berkesadaran Illahiyah pasti memohon, berdoa untuk dapat dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun berikutnya.
Puncak kegemilangan puasa Ramadan itu ditandai dengan 1 Syawal yang menghadirkan Hari Raya, Hari Kemenangan, Idul Fitri yang mampu menggerakkan “para manusia” berkebutuhan mencari asal-muasalnya, tertuntun menapaki jejak kampung halaman. Tanah kelahiran dirunut kembali sebagai bentuk “tanda keberadaan” manusia yang menggedor “rimba sosial” melalui “revolusi laku” yang disebut mudik. Berpuluh tahun saya senantiasa “mendengar dan mentaati panggilan untuk pulang” ke kampung di mana “darah jabang bayi” tumpah untuk menyapa ruang kehidupan di semesta. Mulai dari mudik ke “desa perabadan” pertama di bangunkan untukku, hingga ke Bumi Parahyangan, tempat istri “menyemai hidup”.
Baca Juga : Banjir Lumpur Pasuruan Rusak Persiapan Warga Sambut Lebaran
Menjelajah dalam “gembala mudik” dari Jawa Timur menyusuri Pantura hingga Jawa Barat dan kembali melalui “liuk jalanan” Pantai Selatan Jawa adalah kelumrahan yang selama ini kami lalui nan syukuri. Iring-iringan kendaraan anggota keluarga tentu merupakan “panggilan tradisi” yang senantiasa terukir dalam sukma bahwa “betapa pentingnya” rumah tangga dipahami sebagai madrasah yang darinyalah seluruh luaran aktivitas bermula. Negara inipun sejatinya terbangun dari keluarga-keluarga. Untuk itulah kebaikan sebuah negara sejatinya tercermin dari “keluarga besar” kita semua. Dengan kesadaran inilah maka terdapat fenomena yang amat membanggakan selama ini, yaitu sumbangsih keluarga muslim dalam “menyebarkan lebaran” melalui temu keluarga besar yang dihelat pada acara halal-bi halal maupun “temu rindu” generasi yang sangat geneologis.
Keluarga muslim dalam konteks ini sangatlah berperan penting dalam menjaga “keunggulan negara” tanpa perlu diperdebatkan tingkat statistikalnya. Ini adalah pandom sosial yang sudah lumrah dalam sebuah komunitas yang muslim adalah mayoritas, meski dirasa, terkadang “inilah mayoritas untuk di negeri ini yang justru kerap mengalami dipersekusi”, dalam bentuk yang pembaca silahkan “berimajinasi sendiri”. Pada ruang lebaran inilah kuayunkan langkah beranjang sana bersilaturahmi sini untuk ketemu para akademisi maupun aktivis, kaum pergerakan, seniman, dan tokoh-tokoh masyarakat Sunda. Langkah ini bukan saja untuk membincang soal orde peradaban dan kebudayaan maupun politik sebagaimana diajarkan dalam perangkat ayat-ayat suci Alquran dan sirah nabawiyah, tetapi juga mendengar langsung tentang agenda harmonisasi Jawa-Sunda yang tengah dipancangkan oleh para kepala daerah kedua wilayah. Bunda Gubernur Jawa Timur Hj Khofifah Indar Parawansa dan Akang Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat pastilah selalu menjaga relasi yang terpadukan selama ini. Ingatannya tentu tertuju kepada Gubernur Jawa Barat (Pakde Karwo) dan Jawa Timur (Kang Aher) melalui persaksian Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku “panjer budaya” Jawa sewaktu membulatkan tekad untuk “membasuh luka, menebus dosa, memancangkan paseduluran” Jawa-Sunda tanpa “sakit hati lagi”. Tahunnya 2018 dalam rentang tarikh hijriyah 1439.
Baca Juga : Jumlah Pemudik di Stasiun KA Nganjuk Meningkat Jelang Lebaran
Mengenang Gajah Mada
Baca Juga : Libur Lebaran, DJP Hapus Sanksi Telat Lapor SPT Tahunan Orang Pribadi
Semoga masih ingat. Ada agenda kebudayaan yang dikemas dengan saling membuka ruang teritorial utama wilayahnya oleh Pakde Karwo dan Kang Aher: Bandung dan Surabaya dengan perkenan “menyemat nama-nama legendaris kedua bongkahan sejarah”: “Hayam Wuruk, Gajah Mada, Majapahit, Prabu Siliwangi, Pasundan-Padjadjaran”. Sebuah kata yang “memiliki bobot historis” yang menindih kedua jiwa kawasan. Semua bolehlah mengenang Sumpah Palapa yang sangat kondang kaloko dan menggema pengucapannya di Balai Manguntur, tempat Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan di tahun 1331. Sumpah Palapa merupakan garis politik kenegaraan penyatuan Nusantara sebagaimana dirintis oleh Kertanegara di lembar negara Singasari. Kesetiaan Gajah Mada kepada trah Raden Wijaya adalah contoh pribadi berdedikasi. Peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh dokter istana, yaitu Ra Tanca di tahun 1328 yang kemudian “diamankan” oleh Gajah Mada agar tahtah dilanjutkan Tribuana merupakan sisik melik yang menarik ditilik. Apalagi kisah-kisah mengenai Ra Semi yang membangun pangkalan militer di wilayah Sememi, di mana kini saya tinggal. Sememi ada dalam tata kelola Ra Semi dan Ra Kuti di daerah Kutisari. Ini menarik di simak tapi belum saat ini.
Dalam rentang jabatan Perdana Menteri Gajah Mada menjabat inilah hadir Pakuwon Pajajaran menjelma menjadi Kerajaan di 1333, nyaris setarikan dengan penyatuan Bali di 1334, saat Hayam Wuruk dilahirkan. Hayam Wuruk dididik dengan kecakapan prima mengemban mandat Dampar Kencono tahun 1350 dengan sematan gelar Rajasanegara. Baginda Hayam Wuruk membuat Majapahit moncer atau meminjam bahasa Syahrini, cetar membahana menjadi imperium “Macan Asia” 1350-1370. Raja perjaka ini tahun 1357 saatnya berpendamping wanita unggul dan jelita, maka “pansel” dibentuk untuk melakukan “seleksi nasional” dan terpilihlah Citrasymi alias Diyah Pitaloka, Mojang Priangan, anak kinasih bermartabat terhormat, Raja Pajajaran. Pinangan terhadap Putri Kerajaan Pasundan Baru dilangsungkan dan rotasi romantika digelar atas nama cinta yang membentang asa dari Majapahit bertaut di Tatar Sunda.
Baca Juga : Tak Hanya Indonesia, 5 Negara Ini Juga Punya Tradisi Mudik
Gumparan bahagia mengkristal dalam imaji sejoli yang dibalut “hangatnya kelambu asmara” dengan ikutan agenda pertautan dua negara yang akan semakin mencakrawala kekuasannya. Sepertautan kisahnya laksana “formasi cinta” manunggale Ratu Saba dengan Raja Sulaiman. Cerita “gandrung” yang melegenda sebagai “kristal kuasa” Kerajaan Nabi Sulaiman yang terabadikan dalam Kitab Suci sebagai otoritas peradaban negara yang tidak ada bandingan kehebatannya, sebelum maupun oleh budaya manusia sesudahnya. Pernikahan Ratu Saba dan Nabi Sulaiman telah mewujudkan dua negara menjadi satu Imperium Global Sulaiman.
Baca Juga : BMKG Rilis Potensi Cuaca Ekstrem Jawa Timur Sepekan ke Depan, Pemudik Diimbau Waspada
Cinta yang Tertikam
Namun itu tidak berlaku di Majapahit dan Pasundan di tahun 1357. Kisahnya menjadi “cinta yang tertikam”. Diyah Pitaloka beserta keluarganya terhempas dalam simbahan luka yang berujung lara yang direguk rakyat sampai kini, akibat tragedi di Lapangan Bubat. Perkawinan yang gagal ditambah dengan “bumi hangus” keluarga kerajaan Pasundan oleh “ambisi politik yang tidak dibarengi dengan diplomasi katrisnan” dari Gajah Mada itu, ternarasi dalam ingatan sosio kultural yang semakin lama semakin manages di hati rakyat Sunda. Peristiwa perih yang menghunjam dalam lubuk peradaban dan terus membuncah pada ingatan yang terdongengkan dari generasi ke generasi ini dibungkus dalam “kelambu” Sundayana.
Dalam lingkup inilah torehan hebat Gajah Mada di tahun yang sama, 1357 dengan menghadiahi Hayam Wuruk melalui keberhasilan Ekspedisi Dompu oleh Laksamana Nala, tidak membuat Sang Raja mengembang senyumnya. Nafasnya tetap ditarik pelan dengan lirih suara Raja Dangdut Rhoma Irama “kegagalan cinta” yang menyemesta. Hayam Wuruk merintih dalam perihnya jiwa atas gelora rindu yang terhuyung pilu dan itu semakin mengelamkan jiwanya, karena justru ulah mempolitisir cinta dengan “penundukan atas nama kemegahan kerajaan”. Sejak itu Gajah Mada merasa bersalah dan menghaturkan “tebusan ruhaniah” melalui mekanisme Paseradaan Agung (“haul akbar”) untuk mengenang almarhumah Gayatri Rajapatni di tahun 1362 dengan ucap pamungkas yang menyentuh “langit tertinggi” keluhuran budi Hayam Wuruk. Gajah Mada berucap: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada”.
Ekspresi Gajah Mada pada saat mengucap “segala titah Raja tidak boleh diabaikan” dengan menyimpuhkan diri “pasrah bongkoan seluruh pengabdiannya kepada sang Raja”, menurut Muhammad Yamin (1945) sambil membungkukkan diri, penuh khidmat. Dari sinilah Gajah Mada mengambil “jalan menepi” dari sengkurat politik menempati tanah hadiah Sang Raja di Madakaripura. Gajah Mada topo kumkum menebus salah membasuh luka jiwa raga Sang Noto. Dalam ritual mandi air suci di Madakaripura inilah, Gajah Mada membopong harkatnya menjemput maut, mengidungkan akhir hayatnya di tahun 1364 dalam tumindak yang dinamakan tirtasewana. Sudahkah kita mampu “mentirtasuwanakan” ego anak-anak dari Majapahit untuk menebus “kepahitan” Pasundan? Hadirnya penolakan “soal penambahan nama jalan saja” yang kini terbersit dan belum mau “sumeleh”, sungguh bukti kukuhnya “titik nasionalisme” semu di kota Pahlawan.
Nasionalisme macam apa yang dimiliki oleh mereka yang pakai menyuarakan penolakan di Surabaya atas niatan “membalut luka” yang secara faktual memang masih menghiasi pembelajaran “kampung ini”. Adakah Perang Bubat itu benar-benar ada? Ataukah itu hanyalah konstruksi budaya yang sengaja dicipta untuk menimbulkan “benturan peradaban” yang menggelar konflik sosial berkepanjangan? Oh … oh … betapa saya dibuat tertegun oleh para tokoh Sunda yang selama ini saya menyaksi mengenai kerasnya logika yang dibangun tentang Gajah Mada yang “disoraki” sebagai anti persatuan. Data kesejarahan dipaparkan sangat rinci tentang nusantara yang bersatu sebelum Gajah Mada, dan bagaimana “dosa politik” Gajah Mada harus ditanggungnya, karena ulahnyalah yang menyebabkan “keperihan kultural” antara Jawa-Sunda.
Nasionalisme Urang Sunda
Tetapi diskusi hari-hari selama berlebaran di Jawa Barat, saya berbinar dalam gumparan yang terpendar bersama banyak elemen keluarga besar Urang Sunda. Silaturahmi gagasannya amatlah menyentak dengan hentakan yang menyadarkan betapa ruhani nasionalisme bagi mereka jauh lebih penting dari segala rupa dalil-dalil sejarah. Sehubungan dengan pemberian nama-nama yang “berkarakter Majapahit” itu pada dinamikanya memang ada “riuh-reda” penolakan, bahkan sangat vulgar. Betapa kesadaran kolektifnya sangat mengagumkan dengan unggahan: oleh karena para pemimpin, para Gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur melalui persaksian “pemangku adat” Jawa, kami pun bisa mengerti, dapat memahami, bahwa pemberian nama itu diniscayakan kami terima demi “cahaya kebangsaan” ke depan yang lebih cerah. Kenangnya.
Subhanallah. Mereka secara sosiologis dan futuristik (karena urusan legalitas biar diurus institusi pemerintahan) tampak legowo menerima. Terpotret semangat persatuan bahwa mereka tidak ingin Urang Sunda mendapatkan “stempel sebagai pihak yang terus mengabadikan duka”. Kami tidak mengenal “dendam sejarah” tetapi hendak membangun sejarah yang secara material sebenarnya telah cair dan akur, tetapi ruas-ruas formalitas tampaknya perlu “dipahatkan monumen jalan” sebagai penanda. Ini mengagumkan dan saya terpesona dengan konklusi awal bahwa Urang Sunda telah memberikan “penanda peradaban Sunda” yang amat nasionalis. Inilah hadiah optimisme yang memperkokoh nasionalisme dalam jejak lebaran 1439 H dan kini sampai di titik 1444 H.
Sekarang tinggal bagaimana “anak-anak zaman” Gajah Mada mampu menyimak suara bermakna dari Urang Sunda. Hatur nuhun. Dengan ini pula dikabarkan kepada pembaca bahwa catatan ini adalah rekonstruksi berlebaran selam sepeken (bukan sepekan) dan untuk selanjutnya perjumpaan kita akan “melintasi planetarium pikir” dalam kolom seperti sebelumnya. Silaturahmi saya diwarnai makan kupat dan opor ayam yang hemmm, nikmat khas Sunda. Selamat Beridul Fitri 1444 H, Maaf Lahir dan Batin. Sepekan sudah dan kini saatnya Lebaran Ketupat, minta maaf segala lepat, kesalahan menjadi keberkahan. Soal perang jadi lupa seiringan perjalanan waktu yang setia melaju tanpa mau menunggu. Hatur nuhun. (*)