Salah satu analogi tentang politik dan kekuasaan yang paling terkenal adalah dari Lord Acton. Analoginya adalah, “Power tends to corrupt. Absolut power tends to corrupt absolutelly.” Bahwa kekuasaan itu mempunyai kecenderungan untuk berlaku korup. Pengertian korup dalam perspektif kekuasaan tidak hanya masalah uang. Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya.
Bahkan Frederich Lenin pun menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk propaganda. Salah satu statement yang fenomenal dari frederich lenin adalah, “Kebohongan yang diucapkan berkali-kali dan imani, akan menjadi firman bagi manusia.” Artinya, diksi kebohongan yang dilakukan secara masiv akan menjadi sebuah kewajaran bagi yang mendengarnya. Premis tersebut akan menjadi sebuah kebenaran ketika tidak ada negasi yang melawan premis tersebut. Selain itu, ia bukan lagi sebuah anomali karena diksi itu sudah terdistribusi normal.
Kawan, pengantar di atas bukan untuk menggambarkan situasi politik saat ini. Namun itu adalah ilustrasi awal dari sebuah cikal bakal situasi kerja di dunia nyata. Persaingan kerja dalam dunia nyata membutuhkan seseorang mempunyai mental baja, tidak baperan, dan selalu berpikir positif. Dunia kerja akan menjadi baik-baik saja ketika lingkungan kerja yang tidak toxic. Namun yang terjadi saat ini adalah vibe yang sebaliknya. Orang-orang di tempat kerja masing-masing telah menjadi yang pernah dikatakan Niccolò Machiavelli bahwa manusia mempunyai perilaku “memakan” sesama. Dalam perkembangannya pandangan ini menjadi pragmatis dan terkadang kejam tentang kekuasaan dan politik.
Pada sisi lain, Machiavellianisme menjadi sebuah kepribadian yang dulunya anomali, sekarang menjadi sebuah kewajaran. Kenapa demikian? Karena semua manusia (saat ini) mempunyai kecenderungan Machiavellianisme. Machiavellianisme adalah suatu kepribadian yang dicirikan oleh kecenderungan manipulatif, licik, dan berfokus pada keuntungan pribadi, seringkali dengan mengabaikan moralitas dan empati. Perilaku-perilaku ini bukan hanya ada dalam dunia perpolitikan, namun telah berkembangan biak di tempat kerja. Perilaku-perilkau manipulatif, agresif, mengabaikan moralitas dan empati nyaris menjadi hal yang bisa kita temui di tempat kerja. Dampaknya, orang-orang sekitar menjadi oportunis dan bahkan hipokrit untuk mencari keselamatan sendiri-sendiri.
Mengapa orang bisa menjadi Machiavellianisme?
Seperti ciri-ciri kepribadian lainnya, Machiavellianisme dianggap disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa sifat tersebut sangat mudah diwariskan dan menemukan banyak kesamaan dengan gen yang memengaruhi psikopat, sifat yang sangat erat kaitannya. Namun beberapa penelitian lainnya menemukan fakta justru faktor lingkungan dan orang-orang sekitarnya yang sangat mempengaruhinya.
Lingkungan yang toxic mendorong insting seseorang untuk bertahan. Salah satu strategi bertahan menjadi pribadi yang oportunis dan hipokrit. Alih-alih melawan arus mainstream, mereka justru membangun partisi dengan topeng-topeng seribu wajah. Mereka bermutasi menjadi bunglon yang bisa berubah apa saja dan kapan saja.
Diksi-diksi agitatif yang menggiring opini pun biasanya dilancarkan untuk memarginalkan lawan-lawannya. Hal ini jamak dilakukan bukan saja dalam dunia perpolitikan. Namun sudah menjadi hal umum dilakukan di tempat kerja. Tempat kerja bukan lagi menjadi ajang unjuk prestasi kerja namun telah berubah menjadi unjuk bertahan hidup pekerja dari tekanan. Alih-alih mendapatkan apresiasi, pekerja yang berprestasi justru menjadi public enemy yang dianggap anomali dan menyalahi tatanan atau kebiasaan kerja “normal”.
Sebagai penutup Sigmund Freud dalam studinya tentang Skizofrenia mengungkapkan bahwa KEGILAAN itu hanya masalah sudut pandang. Kegilaan adalah perilaku minoritas ditengah masifitas mayoritas. Maka, jika orang berperilaku normal berada dalam lingkungan toxic Machiavellianisme, maka ia yang akan dianggap GILA. Anda di sebelah mana?