BANGKALAN - Peristiwa berdarah berjuluk carok masal yang terjadi di Desa Bumianyar, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan, pada Jumat (12/1/2024) menewaskan 4 orang. Dua pelaku ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, yakni kakak beradik Hasan Busri (39) dan Moh Wardi (30).
Dua bersaudara tersebut melawan sedikitnya sepuluh orang. Empat orang di antaranya meninggal. Sebelum berangkat carok, pelaku sempat pamit ke ibunya. Mereka dilarang namun nekad. “Pelaku tetap maksa ke TKP, ketika sampai di TKP, di tempat cekcok mulut, motor adiknya belum berhenti full, salah satu saudaranya melompat," kata Kapolres Bangkalan AKBP Febri Isman Jaya.
Lalu apa sebenarnya carok itu?
Aina Aurora Mustikajati, Alif Rizqi Ramadhan, dan Riska Andi Fitriono dalam jurnal Intelektiva edisi November 2021 berjudul “Tradisi Carok Adat Madura dalam Perspektif Kriminologi dan Alternatif Penyelesaian Perkara Menggunakan Prinsip Restorative Justice” menyebutkan bahwa carok merupakan tradisi Madura dalam menyelesaikan masalah atau konflik terkait dengan harga diri.
Baca Juga : 4 Orang Tewas Akibat Carok di Bangkalan, Diduga Masalah Parkir
Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti perkelahian. Bisa pula diartikan dari kata ecacca erok-orok yang berarti dibantai atau mutilasi. Dalam beberapa kasus, carok juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa tanah. Juga kerap terkait konflik perselingkuhan.
Dalam tradisi carok, menebus rasa malu akibat tercorengnya harga diri dilakukan dengan cara melukai atau bahkan membunuh lawan sesuai dengan peribahasa Madura, angoan pote tolang etembheng pote mata yang artinya kurang lebih “lebih baik mati daripada hidup harus menanggung rasa malu”
Pada umumnya carok menggunakan senjata tradisional khas suku Madura, yakni celurit. Senjata tajam berbentuk melengkung itu punya kegunaan utama sebagai penyabit rumput. Menurut D. A. Wawi Imron, celurit mempunyai filosofi yang cukup dalam. Yakni mengenai bentuknya yang melengkung mirip tanda baca tanya. Itu dianggap sebagai bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
Baca Juga : Sebelum Berangkat Carok, Pelaku Pamit Ibunya
Carok sebenarnya tidak bisa dilakukan sebarangan. Tidak boleh asal tebas. Ada aturannya. Terdapat sejumlah syarat sebelum orang berangkat carok untuk “menyelesaikan” perkara. Ada sedikitnya lima unsur dalam carok (Wiyata, 2002). Yakni, ada tindakan atau upaya pembunuhan antara laki-laki, pelecehan harga diri terutama yang berkaitan dengan kehormatan perempuan, perasaan malo (malu), adanya dorongan, dukungan, atau persetujuan sosial, serta perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.
Tradisi carok juga harus memenuhi beberapa syarat (Sumadianta, 2009). Antara lain, kadigdajan (latihan bela diri), tamping sereng (meminta jampi-jampi kekebalan supranatural), dan banda (kecukupan modal).
Sejarah Carok
Baca Juga : Sejarah dan Apa Itu Carok, Peristiwa yang Menewaskan Empat Orang di Bangkalan
Meskipun sudah dilakukan turun temurun, istilah carok belum muncul baik pada abad 12 M (masa Kerajaan Madura dipimpin Prabu Cakraningrat) hingga abad 17 M (masa Panembahan Semolo). Istilah carok baru muncul ketika masa kolonial Belanda, yakni sekira abad ke-17 M. Ketika kongsi dagang Belanda (VOC) menginjakkan kaki di tanah Madura, banyak kekerasan yang melibatkan masyarakat setempat.
Dalam cerita rakyat Madura, carok bermula saat terjadi perkelahian antara Sakera, mandor tebu di pabrik milik Belanda dengan Brodin, Markasan, dan Carik Rembang yang dianggap sebagai antek Belanda. Ketika itu, Belanda memerintahkan Carik Rembang mencarikan lahan guna ekspansi pabrik gula. Carik Rembang pun melakukan cara licik dengan meneror pemilik tanah agar bisa mendapatkan harga murah.
Cara kekerasan hingga iming-imong kekayaan pun dilakukan guna membujuk pemilik tanah. Sakera pun terketuk hatinya untuk membela masyarakat. Sakera berupaya menggagalkan usaha Carik Rembang. Belanda ingin membunuh Sakera dengan menyuruh jagoannya bernama Markasan. Di sebuah jam istirahat pabrik tebu, Markasan mengajak Sakera adu kekuatan. Menurut hikayat tersebut, Belanda bahkan mencari kelemahan Sakera lewat teman seperguruan bernama Azis. Sakera berhasil dilumpuhkan lalu dihukum gantung oleh pemerintah kolonial.
Kembali ke peristiwa berdarah di Bangkalan, Kapolres Bangkalan AKBP Febri Isman Jaya mengungkapkan bahwa motif kasus tersebut adalah ketersinggungan antara pelaku dan korban. Peristiwa bermula saat salah satu pelaku hendak menuju ke acara tahlilan di Desa Bumianyar. Kemudian terjadi cekcok karena lampu sorot motor korban mengenai mata pelaku, kemudian ditegur saat laju motor melintas kencang.
Dengan motif tersebut, apakah tragedi di Desa Bumianyar tersebut bisa disebut carok? (sof)
Editor : Sofyan Hendra