SURABAYA - Sanggar Lidi Surabaya sukses menggelar pementasan teater Grafito, sebuah drama karya Akhudiat, maestro teater Surabaya, yang disutradarai oleh Totenk MT. Rusmawan. Pementasan ini merupakan bagian dari acara Dharma Seni untuk Negeri VI yang didedikasikan untuk mengenang almarhum Akhudiat.
Dengan melibatkan 29 aktor dari berbagai latar belakang, mulai dari guru hingga anak-anak, Sanggar Lidi berhasil menyuguhkan pementasan yang memukau. Setelah empat bulan berlatih, mereka berhasil menggugah emosi lebih dari 400 penonton yang hadir di Gedung Balai Pemuda Surabaya pada Selasa (12/11/2024) malam.
Sejak pukul 18.15 WIB, registrasi tiket penonton dibuka di Selasar Gedung Alun-alun Surabaya, yang segera dipadati oleh penonton antusias untuk menyaksikan pementasan ini. Sebelum menyaksikan Grafito, para penonton disuguhi pertunjukan pantomim yang memukau. Dua seniman pantomim berhasil menciptakan suasana yang menyentuh dengan gerakan tubuh lincah dan ekspresi wajah dramatis yang penuh makna. Tanpa sepatah kata pun, mereka berhasil menyampaikan prolog yang menarik, memberikan gambaran tentang alur cerita yang akan diangkat dalam drama tersebut.
Baca Juga : Sanggar Lidi Surabaya Gelar Pementasan Teater "Grafito," Kisah Cinta Beda Agama di Balai Pemuda
Pukul 19.00 WIB, pementasan Grafito dimulai dengan khidmat. Alunan merdu alat musik sapek mengiringi doa bersama dari agama Katolik dan Islam, menciptakan atmosfer spiritual yang mendalam sebagai pembuka pementasan kisah cinta beda agama.
Pementasan dilanjutkan dengan tarian romansa, di mana pasangan pria dan wanita menari bersama, menggambarkan inti dari pementasan yang bertema romansa. Selain itu, lagu-lagu anak-anak seperti Padang Bulan, Menthog-menthog, Cublak-cublak Suweng, Tak Lelo-lelo Ledong, dan Anak Merdeka dibawakan oleh aktor anak-anak, berhasil mengundang nostalgia bagi para penonton.
Kisah dalam naskah Grafito mengisahkan romansa dua kekasih yang berbeda agama. Limbo, seorang pemuda Katolik, jatuh cinta pada Ayesha, seorang gadis Muslim. Meskipun cinta mereka tulus, mereka menghadapi hambatan besar: perbedaan agama yang tidak dapat disatukan. Mereka berusaha keras untuk bersatu dengan pernikahan, bahkan meminta bantuan Pastor dan Kyai. Namun, kisah mereka terhalang oleh realitas perbedaan agama yang sulit diterima oleh masyarakat.
Pementasan yang berakhir pukul 21.00 WIB ini berhasil membawa penonton dalam beragam emosi. Tertawa karena lawakan para aktor, terharu karena penolakan yang diterima Limbo dan Ayesha dari pemuka agama mereka, serta terkejut oleh kejutan yang disajikan di akhir pementasan. Totenk MT. Rusmawan, selaku sutradara dan penulis adaptasi naskah, menghadirkan twist yang mengejutkan dalam akhir cerita.
Totenk memberikan interpretasi yang unik pada akhir kisah Grafito. Ia menilai bahwa pernikahan Limbo dan Ayesha dengan dewa-dewi merupakan hasil imajinasi Limbo yang sudah putus asa setelah ditolak oleh Pastor.
"Saya interpretasikan ending-nya tidak berujung pada pernikahan di dunia nyata, melainkan pernikahan khayalan dengan dewa-dewi. Itu adalah halusinasi Limbo, di mana ia dan Ayesha tidak bisa bersama di dunia nyata, namun bisa bersatu dalam imajinasinya," ungkap Totenk.
Interpretasi yang serupa juga diungkapkan oleh Agcy Putri, pemeran Ayesha. Ia menyatakan bahwa meskipun kisah ini tidak dapat disatukan di dunia karena terhalang hukum, kisah mereka bisa bersatu di dimensi lain, yaitu melalui Dewi Ratih dan Dewa Kamanjaya. Senada dengan itu, Iftida Amri, pemeran Limbo, berharap pementasan ini dapat memberikan jawaban tentang peraturan pernikahan beda agama.
Lingtangati, salah satu penonton, mengungkapkan bahwa kisah ini dapat menjadi pelajaran tentang cinta beda agama. "Saya merasa bahwa penyampaian dalam pementasan ini sangat bagus dan berkesan," ucapnya.
Pementasan Grafito bukan hanya sebuah pertunjukan teater, tetapi juga menjadi sebuah refleksi tentang batas-batas agama, cinta, dan hukum dalam kehidupan masyarakat. (*)
Foto-foto: Dhenis Syiva
Editor : Iwan Iwe