PACITAN - Kabupaten Pacitan tengah menghadapi tantangan serius dalam tata niaga benih bening lobster (BBL) yang berdampak besar pada kehidupan para nelayan benur di wilayah pesisir. Kompleksitas perizinan yang berlapis dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di sektor budidaya membuat harga benur terus merosot dari Rp 15 ribu hingga hanya sekitar Rp 2 ribu per ekor.
Kondisi ini menyebabkan tekanan ekonomi yang signifikan bagi nelayan yang menggantungkan penghasilan dari penangkapan benur. Penurunan harga benur yang drastis berimbas langsung pada pendapatan para nelayan. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih untuk berhenti melaut karena penghasilan yang diperoleh tidak cukup untuk menutupi biaya operasional sehari-hari seperti bahan bakar, perawatan alat tangkap, dan kebutuhan hidup keluarga.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Pacitan, Bambang Mahendrawan, mengungkapkan bahwa saat ini masih banyak Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang beroperasi tanpa memiliki izin resmi, meskipun sebagian telah mengajukan dan memperoleh surat izin. Data dari Dinas Perikanan mencatat hingga kini hanya sekitar 25 KUB yang resmi berizin. “Namun, izin penangkapan benur saja tidak cukup,” kata Bambang.
Ia menjelaskan bahwa seluruh proses distribusi dan tata niaga benur juga harus mematuhi peraturan yang berlaku, termasuk pengurusan surat jalan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Selain itu, koperasi yang menjadi penghubung antara nelayan dan pasar ekspor juga wajib memiliki izin resmi agar proses bisnis berjalan lancar dan sesuai aturan.
Baca Juga : RPJMD 2025–2029 Dikritik Fraksi DPRD Pacitan, Jalan Rusak dan Kemiskinan Jadi Sorotan
Bambang menambahkan bahwa kualitas benur dari Pacitan sendiri sudah dikenal sangat baik di pasaran, baik nasional maupun internasional. Oleh karena itu, Dinas Perikanan saat ini tengah berupaya menjalin kerja sama dengan investor dari Vietnam dan China untuk mengembangkan budidaya lokal yang berkelanjutan. "Kerja sama ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan, " tambahnya.
Namun demikian, tantangan utama yang masih dihadapi adalah minimnya tenaga ahli dan keterampilan budidaya di tingkat lokal. Keterbatasan SDM ini menjadi hambatan dalam memaksimalkan potensi hasil tangkapan dan pengelolaan benur secara optimal. “Kami berupaya melakukan pelatihan dan pendampingan agar para nelayan dan pengusaha budidaya memiliki kemampuan teknis yang memadai,” tegas Bambang.
Ia berharap dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, ekonomi nelayan di Pacitan dapat pulih dan sektor budidaya benur dapat berkembang lebih baik. (Edwin Adji)
Editor : JTV Pacitan