Pada era dengan didominasi oleh kecerdasan AI, politik menghadapi tantangan baru yang tidak akan terbayangkan sebelumnya.
Teknologi yang dirancang sedemikian rupa untuk membatu kehidupan manusia kini memainkan peran signifikan dalam proses pengambilan keputusan, penyebaran informasi, hingga pembentukan opini publik.
Namun, dengan potensi besar yang ada, muncul pula ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang telah lama menjadi fondasi kehidupan bernegara.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh mantan Presiden AS, Barack Obama, “Teknologi dapat menjadi alat luar biasa untuk memberikan kebebasan, tetapi juga dapat menjadi alat untuk memperkuat tirani”.
Pada era sigital saat ini, algoritma memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang kita lihat, baca, bahkan pikirkan, melalui analisis data besar yang sangat mendalam.
Dalam kampanye politik AI digunakan untuk micro targeting, yang merupakan penyampaian pesan yang disesuaikan secara spesifik dengan preferensi pemilih berdasarkan data perilaku online mereka.
Di satu sisi, hal ini membatu politisi menyampaikan pesan yang lebih relevan, tetapi di sisi lain, ini justru menciptakan filter bubble.
Hal tersebut membatasi akses masyarakat terhadap pandangan alternatif, yang mengakibatkan ruang diskusi terbuka dan inklusif fondasi demokrasi semakin tergerus.
AI juga membuka peluang bagi penyebaran disiinformasi yang lebih berbahaya, seperti melalui teknologi deepfake.
Video palsu yang terlihat sangat meyakinkan ini dapat digunakan untuk menjatuhkan lawan politik atau untuk memanipulasi opini publik, sehingga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap informasi.
Yuvual Noah Harani yang merupakan seorang sejarawan terkenal pernah memperingatkan, “Orang yang mengontrol data akan mengontrol masa depan umat manusia”.
Pernyataan tersebut mengingatkan AI kini menjadi alat yang ampuh untuk memengaruhi keputusan politik dan menciptakan ketimpangan kekuasaan antara elite teknologi dan masyarakat luas.
Algoritma politisasi juga menjadi ancaman serius. AI sering dianggap netral, tetapi kenyataannya algoritma dirancang oleh manusia yang membawa bias tertentu.
Ketika bias ini tercermin di dalam keputusan yang berbasis AI, seperti dalam moderasi konten media sosial atau penyaringan informasi, maka terjadi manipulasi yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat.
Apalagi jika ketergantungan pada AI untuk proses pengambilan keputusan politik, seperti pengelolaan data pemilu atau perumusan kebijakan dapat mengikis transparansi dan akuntabilitas yang menjadi pilar demokrasi.
Jika tidak diawasi dengan ketat, teknologi ini juga dapat berisiko untuk memperkuat otoritarianisme.
Pemerintah yang represif dapat menggunakan AI untuk memantau serta mengontrol warganya melalui sistem pengawasan massal.
Namun, bukan berarti AI sepenuhnya buruk bagi politik. Jika digunakan secara bertanggung jawab, teknologi ini dapat membantu meningkatkan transparansi serta efisiensi pemerintah.
Misalnya, AI dapat digunakan untuk memantau alokasi anggaran, memberantas korupsi, atau memastikan pelayanan publik lebih cepat.
Oleh karena itu, regulasi yang tepat serta etika yang ketat diperlukan untuk memastikan AI menjadi alat yang mendukung demokrasi bukan untuk mengancamnya.
Pada akhirnya, pertanyaan utama yang harus dijawab adalah bagaimana kita memastikan bahwa AI menjadi alat yang memperkuat demokrasi, bukan merusaknya?
Jawabannya terletak pada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, serta ahli teknologi untuk menciptakan kebijakan yang melindungi transparasi, keadilan, dan juga kebebasan di era digital ini. (*)
Editor : Khasan Rochmad