PONOROGO - Di tengah arus modernisasi yang kian deras, eksistensi budaya tradisional semakin terkikis dan jarang dijumpai, tak terkecuali di Ponorogo.
Misalnya di Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, Ponorogo, warga yang sudah lanjut usia tetap menggelar kesenian Terbangan pada Jumat (13/9/2024) sebagai bagian dari tradisi untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan data yang dilansir dari web asli Ponorogo, Terbangan adalah salah satu kesenian sholawat yang selalu dikumandangkan ketika menjelang sholat Jumat atau menunggu Iqomah di Masjid Tegalsari Ponorogo pada masa Kyai Ageng Besari.
Alat musik yang digunakan dalam tradisi ini menyerupai rebana, tetapi ukurannya lebih besar, dengan diameter mencapai 60 cm atau lebih yang terbuat dari kayu jati dan kulit sapi.
Salah satu keunikan kesenian Terbangan terletak pada cara melantunkan sholawat yang khas. Dalam satu kalimat sholawat, nada bisa dibawakan hingga setengah menit atau bahkan lebih, dilakukan secara bersahut-sahutan antar pemain.
Saat ini, Terbangan menjadi kesenian tradisional yang jarang ditemui di Bumi Reyog Ponorogo, padahal dulu kesenian ini hampir ada di setiap desa.
Kesenian ini biasanya meramaikan berbagai acara penting seperti khitanan, upacara memandikan bayi usia tujuh bulan (mitoni), hingga sebagai wujud nazar dari masyarakat.
Baca Juga : Gandrung Sewu Festival 2024 Kembali Digelar, Siap Suguhkan Kekayaan Budaya Banyuwangi
Sakun, salah seorang pemain Terbangan yang kini berusia 78 tahun, mengaku sudah memainkan kesenian ini sejak berusia 20 tahun. Meski sekarang hanya tersisa beberapa orang lanjut usia yang masih memainkan Terbangan, ia mengaku tetap bersemangat menjaga tradisi ini.
"Saya bermain (Terbangan) sejak usia 20 tahun. Saat belajar dulu tidak sulit, tapi sekarang tantangannya adalah tidak adanya generasi penerus. Saat ini, kami ingin terus menjaga budaya ini," Ungkapnya
Supriono, anggota kelompok Terbangan lainnya yang berusia 60 tahun, menambahkan bahwa kelompok Terbangan ini sudah ada sejak lama. Namun, anggotanya kini didominasi para lansia, dengan anggota tertua berusia 80 tahun dan yang termuda 60 tahun.
Baca Juga : Sarasehan Budaya Ungkap Perjalanan Epik Raden Sawunggaling dan Runtuhnya VOC di Tanah Suroboyo
"Kami ingin melestarikan tradisi ini, tapi sayangnya, anak muda tidak ada yang tertarik," kata Supriono.
Meskipun kesulitan mencari penerus, warga Desa Sawoo tetap berusaha menjaga kelestarian kesenian Terbangan agar tidak hilang ditelan zaman.(Ega Patria/Selvina Apriyanti)
Baca Juga : Minim Penerus, Penabuh Terbangan Usia Lanjut Jaga Eksistensi Budaya di Ponorogo
Editor : Iwan Iwe