Film Merah Putih: One for All yang dirilis pada 14 Agustus 2025 seharusnya menjadi momen bersejarah, bukan hanya karena mengusung tema nasionalisme, tetapi karena menjadi salah satu film animasi bertema kepahlawanan yang tayang tepat menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia. Namun alih-alih disambut dengan antusiasme, film ini justru memicu gelombang kritik tajam dan seruan boikot dari publik. Apa sebenarnya yang membuat film ini begitu kontroversial?
Boikot terhadap film ini didorong oleh beberapa faktor, yang sebagian besar berasal dari ketidakpuasan terkait konten atau cara film ini menyajikan cerita. Banyak pihak mengkritik representasi karakter atau elemen cerita yang dianggap tidak mewakili kenyataan sejarah dengan akurat. Ditambah karena beberapa bulan lalu Indonesia berhasil menayangkan film Jumbo yang mendapat apresiasi dari seluruh kalangan di negeri ini. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan yang akhirnya mendorong seruan untuk memboikot film tersebut.
Aksi boikot ini banyak disuarakan melalui media sosial, di mana tagar tertentu mulai ramai digunakan untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap film tersebut. Tak hanya dari kalangan biasa, beberapa tokoh publik juga memberikan kritik terbuka, yang menambah perdebatan di ruang publik. Bagi mereka, boikot adalah cara yang sah untuk memastikan bahwa film-film yang ditayangkan di bioskop tidak merusak citra bangsa atau malah menyesatkan pemahaman tentang sejarah.
Tindakan boikot ini tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap industri film Indonesia. Beberapa studio produksi mungkin merasa khawatir untuk meluncurkan film bertema serupa, atau bahkan memilih untuk menghindari tema-tema sensitif yang berpotensi menimbulkan kontroversi. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa boikot justru memberikan perhatian lebih kepada film ini, membuatnya menjadi lebih viral dan menarik perhatian banyak orang untuk menonton hanya karena kontroversinya.
Boikot terhadap film Merah Putih: One for All menggambarkan bagaimana sebuah karya seni dapat memicu perdebatan yang lebih luas mengenai nilai-nilai sosial dan budaya dalam masyarakat. Meskipun boikot ini mencerminkan rasa ketidakpuasan yang sah dari sebagian kalangan, hal ini juga menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebebasan ekspresi dalam dunia seni.
Ke depan, industri film Indonesia harus belajar untuk menyeimbangkan antara kebebasan berkreasi dan tanggung jawab sosial, serta memastikan bahwa karya-karya yang dihasilkan dapat tetap mencerminkan semangat persatuan, keadilan, dan keberagaman yang menjadi fondasi negara ini.
*) Penulis: Tsaltsa Reza, Mahasiswa/ Pecinta Film Indonesia
Editor : M Fakhrurrozi