PROBOLINGGO - Diskursus tentang peran pemuda tidak akan pernah lekang oleh waktu. Dalam setiap fase perjalanan sejarah bangsa, sepak terjang pemuda selalu mewarnai dan mampu menjadi lokomotif gerakan kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif ini yang mampu menggerakkan komitmen dan ide kebangsaan seperti lahirnya peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Oleh karena itu setiap tanggal 28 Oktober diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Sumpah Pemuda, tonggak sejarah sebagai penanda tumbuhnya kesadaran kolektif pemuda untuk bersatu dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober bukan semata seremoni belaka. Namun menjadi *"recharging"* spirit nasionalisme dan kebangsaan bagi pemuda yang lahir di setiap generasi. Agar ikrar fenomenal yang diucapkan pada 1928 itu menjadi dasar spirit nasionalisme dan komitmen kebangsaan. Menjadi spirit dan komitmen yang setiap saat menyala.
Baca Juga : Hari Sumpah Pemuda, Ketua Komisi A DPRD Surabaya: Gen Z Harus Jadi Agen Perubahan
Kini, hampir seabad berlalu, spirit itu tetap relevan, meski konteksnya telah berubah. Jika dahulu para pemuda berjuang melawan penjajahan fisik, maka kini yang dihadapi adalah kompleksitas tantangan seperti pragmatisme politik, hedonisme, globalisasi arus informasi digital, intoleransi, disrupsi informasi, postruth dan politik identitas.
Dalam menghadapi fenomena seperti ini, moderasi beragama hadir sebagai pandangan dan sikap hidup yang menekankan keseimbangan (Tawassuth) — tidak ekstrem, tidak liberal, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal (Kementerian Agama RI, 2019).
Moderasi beragama menjadi pilar penting untuk menjaga keutuhan bangsa di tengah keragaman agama, budaya, dan etnis yang majemuk.
Yazid (2010: 37-38) mendefinisikan Moderasi beragama dalam perspektif Islam adalah sikap atau pemahaman keagamaan yang menitikberatkan pada sikap jalan tengah dan tidak ekstrim atau melampaui.
Dalam operasionalisasinya moderasi beragama, dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang pembahasan, yaitu:
1. moderat dalam masalah akidah,
2. moderat dalam masalah ibadah,
3. moderat dalam masalah perangai dan akhlak,
4. moderat dalam masalah tasyri’ (pembentukan syariah).
Generasi Muda di Panggung Moderasi
Generasi muda memiliki posisi strategis dalam membumikan nilai-nilai moderasi beragama. Berdasarkan data Statistik Pemuda Indonesia tahun 2024, diperkirakan sekitar 64,22 juta jiwa penduduk di Indonesia adalah pemuda atau seperlima dari total jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya pemuda tergolong dalam kelompok usia produktif.
Di usia produktif ini mereka memainkan peran vital dalam membentuk arah masa depan bangsa yaitu sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) dan agen kontrol sosial (agent of social control). Kedua peran ini memposisikan generasi muda mewarnai peran strategis dalam dinamika sosial dan politik. Termasuk peran generasi muda menggerakkan kreatifitas digital terutama sebagai konten kreator pada platform media sosial.
Sebagaimana dikemukakan Daniel Susilo dan Teguh Dwi Putranto (2018), meskipun generasi muda cenderung menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi pribadi untuk membahas masalah-masalah personal (peer to peer communication). Selain itu pula media sosial sebagai ruang digital dimanfaatkan untuk mendiskusikan isu-isu dan aspirasi politik.
Anak muda tidak hanya menjadi obyek informasi, tetapi juga subyek narasi. Melalui kreativitas digital baik video pendek, podcast, meme edukatif, maupun kampanye media sosial kaum muda bisa menyebarkan pesan toleransi, solidaritas, dan kebhinekaan (Nasution, 2020).
Media sosial, yang selama ini sering disalahgunakan untuk penyebaran ujaran kebencian, bisa diubah menjadi ruang produktif bagi narasi perdamaian. Namun peran itu tidak cukup berhenti di dunia maya.
Generasi muda juga dapat terlibat langsung dalam kegiatan lintas agama dan sosial, seperti bakti kemanusiaan, dialog antariman, dan program pengabdian masyarakat lainnya. Gambaran kegiatan generasi muda seperti ini termasuk dalam indikator yang di kemukakan oleh Hermawati (2016) bahwa perilaku seperti itu merupakan perilaku yang memberi kebebasan beribadah sesuai keyakinan masing-masing,
kesediaan menjalin kerjasama sosial lintas agama, penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi berbasis agama, serta partisipasi aktif dalam pencegahan konflik bernuansa agama. Aktivitas semacam ini dapat memperkuat empati sosial serta menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman adalah anugerah yang memperkaya kehidupan bangsa.
Merawat Warisan Sumpah Pemuda
Saat bangsa dihadapkan pada tantangan pragmatisme politik, intoleransi, hoaks, dan politik identitas, komitmen generasi muda untuk merawat persatuan melalui moderasi beragama menjadi sangat krusial. Meminjam istilah Yudi Latif bahwa Sumpah Pemuda memberi pelajaran penting: persatuan bukan berarti menyeragamkan, tetapi menyatukan keberagaman dalam semangat kebangsaan.
Mendorong peran generasi muda memperkuat moderasi beragama berarti memastikan masa depan Indonesia tetap kokoh sebagai rumah bersama yang damai, inklusif, dan berkeadaban.
Kini saatnya anak muda menjadikan moderasi beragama sebagai bentuk baru *“Sumpah Kebangsaan”* — semangat untuk menjaga Indonesia tetap bersatu di tengah keberagaman. (*)
Penulis:
Dr. H. Ahmad Hudri, ST., MAP.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Probolinggo
Editor : M Fakhrurrozi

















