Pada sebuah sore di tengah angin bertiup kencang George Orwell bergumam The very concept of objective truth is fading out of the world. Lies will pass into history.
Yang dikatakannya bukan gumam yang biasa. Mungkin inilah zaman ketika sejarah ditulis oleh mereka yang paling keras suaranya, bukan oleh mereka yang paling jernih pikirannya. Zaman ketika kita semua terjebak dalam cermin bias, saling melihat dengan kecurigaan dan ketakutan.
Kita hidup di zaman ketika kebenaran tak lagi dicari untuk dipahami, melainkan untuk dipilih sesuai selera. Sebab apa yang benar, kini hanya benar bila terasa menyenangkan. Dan yang salah, dapat menjadi sahih bila didukung oleh cukup banyak suara, cukup banyak klik, cukup banyak sorak. Kita menyebut zaman ini dengan nama istilah post-truth.
Masyarakat yang semakin terhubung dengan teknologi ternyata juga semakin terpisah dari kebenaran. Mereka tidak lagi melihat fakta sebagai pondasi diskusi, melainkan sebagai aksesori opini. Kebenaran dibengkokkan, dan kebohongan didekorasi. Apa yang tampil menarik, dipercaya. Apa yang dikemas dramatis, diterima. Apa yang viral, dianggap sahih.
Dunia hari ini adalah arena gulat narasi. Fakta bukan lagi peluru, tapi hanya pernak-pernik. Kita menonton “kebenaran” seperti menonton sinetron. Ada tokoh jahat yang dicaci, ada tokoh baik yang dielu-elukan. Tapi sering kali, yang jahat hanya tampak jahat karena suntingan media, dan yang baik hanya tampak baik karena pencitraan digital. Dalam atmosfer post-truth, realitas bisa direkayasa, dan semua orang bisa menciptakan versi dunia yang mereka inginkan, dikendalikan di ujung jari, lewat ponsel pintar.
Maka, kita pun melihat polarisasi di mana-mana. Di dunia politik, masyarakat terbelah bukan karena ideologi, tapi karena emosi. Mereka mencintai atau membenci bukan karena argumen, tetapi karena algoritma. Media sosial telah menjadi medan perang antara keyakinan dan kenyataan. Siapa pun kini bisa menjadi “wartawan,” bisa menyebar “data,” bisa membuat “fakta” sendiri. Dan ironisnya, ketika semua orang bicara, tidak ada yang benar-benar mendengar.
Kita telah mengganti otoritas intelektual dengan popularitas digital. Pakar tidak lagi dipercaya karena gelarnya, melainkan karena jumlah pengikutnya. Seorang dokter bisa kalah suara dengan selebgram dalam perdebatan tentang vaksin. Seorang ekonom bisa kalah argumen dengan influencer yang menari sambil memberi saran investasi. Ini bukan semata tentang informasi, tapi tentang siapa yang paling atraktif dalam menyajikannya. Dalam dunia post-truth, kebenaran menjadi soal performa, bukan isi.
Dan dalam kekacauan itu, media arus utama pun goyah. Sebagian mencoba bertahan dengan integritas, sebagian lainnya ikut menjual sensasi. Sebab, di zaman ini, klik lebih penting daripada kredibilitas. Redaksi yang dulu menjadi benteng fakta kini kadang goyah oleh tekanan pasar. Dan jangan kaget kalau judul harus memancing, narasi harus emosional, dan kecepatan lebih penting daripada ketepatan. Kita pun menyaksikan lanskap pemberitaan yang mirip pasar malam yang gaduh, gemerlap, dan sering menipu.
Mereka yang hidup di tengah pusaran informasi ini pun lelah. Mereka tidak lagi tahu siapa yang bisa dipercaya. Mereka hidup dalam kecemasan kolektif, takut tertipu tapi juga malas memverifikasi. Maka akhirnya, mereka memilih percaya pada apa yang membuat mereka merasa aman, pada narasi yang sejalan dengan prasangka mereka sendiri. Inilah bentuk paling lembut dari otoritarianisme, ketika publik tidak lagi ingin tahu kebenaran, melainkan hanya ingin dibenarkan.
Dan dari sinilah lahir fanatisme. Orang-orang tidak lagi mempertanyakan sesuatu, tapi mempertahankannya mati-matian. Apa pun yang bertentangan dianggap serangan. Siapa pun yang berbeda dianggap musuh. Dunia seperti ini bukan lagi tempat berdiskusi, tapi ladang pertempuran identitas. Kita tidak saling mendengarkan, kita hanya saling menunggu giliran membalas.
Saat ini masih ada ruang untuk harapan, seperti benih yang tumbuh di sela-sela reruntuhan. Tapi harapan itu bukan dalam bentuk teknologi baru, atau platform baru. Ia justru lahir dari kesadaran lama, bahwa kebenaran perlu diperjuangkan. Bahwa kita harus bersedia membaca lebih dalam, mendengar lebih panjang, berpikir lebih jernih. Bahwa keraguan bukan musuh, tapi sahabat berpikir. Dan bahwa dalam dunia yang dipenuhi dusta, bersikap skeptis adalah bentuk keberanian.
Barangkali, itulah tugas paling sederhana, dan paling sulit hari ini yakni tetap waras dalam dunia yang gaduh. Menjaga nalar di tengah badai emosi. Mencari yang benar bukan karena ingin menang, tapi karena ingin adil. Menghidupkan kembali tradisi bertanya, bukan hanya percaya. Dan di atas semuanya, percaya bahwa kebenaran, betapapun kecil dan rapuh, masih punya tempat untuk tumbuh.
Karena bila tidak, kita akan terus hidup dalam zaman post-truth ini seperti kapal pecah yang terapung dalam lautan opini, tanpa arah, tanpa jangkar, dan tanpa pelabuhan.
Dan barangkali, yang paling menyakitkan dari semua ini adalah kita tidak menyadarinya. (*)
*) Fauzan Fuadi, Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim
Editor : Iwan Iwe