KEDIRI - Ditengah derap modernisasi Kota Kediri, seorang kakek berusia 68 tahun tetap teguh mempertahankan profesi sebagai pande besi. Margiono, warga Kelurahan Banaran, Kecamatan Pesantren, adalah bukti nyata bahwa keuletan dan ketulusan membuahkan hasil. Selama masih ada petani yang membutuhkan arit tajam dan cangkul kuat, bara di bengkel kerjanya akan terus menyala.
Usaha pande besi Margiono bukan sekadar pekerjaan, melainkan warisan leluhur yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Meski banyak pengrajin beralih ke mesin modern, ia tetap setia menggunakan teknik tradisional yakni memanaskan besi dengan memompa angin manual, lalu menempa dengan palu hingga membentuk arit atau cangkul.
"Prosesnya memang lebih lama, tapi hasilnya lebih tahan lama dan disukai petani," ujar Margiono.
Berbeda dengan pengrajin modern yang mengandalkan mesin, Margiono bersama anak dan satu pekerjanya masih mengandalkan keterampilan tangan. Saat musim panen tebu seperti sekarang, pesanan arit cengkrong (arit lengkung untuk tebang tebu) meningkat. Setiap hari, ia mampu membuat enam arit manual, dijual seharga Rp130 ribu per buah, sedangkan cangkul seharga Rp180 ribu.
Baca Juga : Kakek Margiono, Pande Besi yang Setia Lestarikan Tradisi Ditengah Modernisasi
Margiono bukan hanya pengrajin besi, tapi juga penjaga nyala tradisi. Ditengah gempuran teknologi, ia membuktikan bahwa ketekunan dan keahlian tradisional tetap dibutuhkan. Selama masih ada petani yang setia menggunakan arit dan cangkul buatannya, bara di bengkelnya takkan padam.
"Selama masih ada yang butuh, saya akan terus bekerja," katanya dengan senyum. (Beny Kurniawan)
Editor : JTV Kediri