Di era digital, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) semakin mengakar dalam kehidupan masyarakat. Rasa takut tertinggal tren atau kegiatan orang lain membuat FOMO menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Media sosial yang terus menampilkan kehidupan orang lain, seperti perjalanan mewah, gaya hidup sehat, atau pencapaian karier yang gemilang, sering kali membuat kita merasa tertekan untuk ikut serta, bahkan jika hal tersebut bukan bagian dari prioritas atau keinginan pribadi kita. FOMO mungkin bukan fenomena baru, tetapi dalam dunia yang terhubung secara digital 24/7, ia berubah menjadi tekanan sosial yang nyata dan mengganggu. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa membebaskan diri dari jerat FOMO ini? Dan apakah kita masih bisa mengendalikan hidup di tengah derasnya arus informasi?
Kemunculan media sosial mengubah cara kita berinteraksi dan memandang dunia. Instagram, Twitter, Facebook, hingga TikTok menjadi panggung bagi siapa saja yang ingin berbagi momen. Namun, di balik itu semua, ada tekanan terselubung yang memicu FOMO, yaitu perasaan cemas karena tidak “terlibat” dalam kehidupan atau tren yang sedang populer. Setiap kali kita membuka media sosial, kita disuguhi konten yang memperlihatkan betapa indahnya kehidupan orang lain, bahkan jika kenyataannya tidak selalu seperti itu. Ketergantungan pada media sosial justru memperparah FOMO. Studi dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan di media sosial, semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang, terutama karena rasa iri dan tekanan untuk mengikuti standar yang tidak realistis. Hal ini menunjukkan bahwa FOMO bukan hanya perasaan sementara, tetapi bisa berdampak serius pada kesehatan mental.
Salah satu dampak paling mencolok dari FOMO adalah pengaruhnya terhadap keputusan dan prioritas hidup. Banyak orang merasa terdorong untuk mengikuti kegiatan atau membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, hanya karena melihat orang lain melakukannya. Misalnya, tren belanja online atau menghadiri acara yang terlihat “keren” di media sosial sering kali membuat kita mengorbankan hal-hal yang sebenarnya lebih penting, seperti waktu untuk diri sendiri atau menabung untuk masa depan. FOMO juga kerap membuat kita merasa bahwa hidup kita kurang berarti atau tidak sebanding dengan kehidupan orang lain. Padahal, apa yang kita lihat di media sosial hanyalah cuplikan terbaik dari kehidupan seseorang, bukan gambaran keseluruhan. Akibatnya, kita terus merasa tidak puas dan selalu mencari sesuatu yang “lebih,” tanpa menyadari bahwa kebahagiaan dan kepuasan tidak dapat ditemukan dengan membandingkan diri kita dengan orang lain.
FOMO juga memengaruhi dunia karier dan produktivitas. Kita sering merasa harus terus bekerja lebih keras, mengikuti seminar, atau belajar keterampilan baru agar tidak tertinggal dibandingkan dengan rekan sejawat. Hal ini dapat berujung pada kelelahan fisik dan mental, karena kita terjebak dalam siklus kompetisi yang tak berujung. Fenomena hustle culture, di mana kita merasa harus selalu produktif dan sibuk, erat kaitannya dengan FOMO. Hustle culture mendorong kita untuk merasa bersalah jika mengambil waktu untuk beristirahat atau menikmati hidup. Pada akhirnya, FOMO dalam dunia karier ini dapat merusak keseimbangan hidup dan kesehatan mental kita. Survei dari American Psychological Association (APA) menemukan bahwa tingkat stres dan kelelahan akibat tuntutan pekerjaan semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda yang merasa harus terus bersaing dalam pasar kerja yang kompetitif.
Mengendalikan FOMO bukanlah hal yang mudah, terutama di era di mana kita hampir selalu terhubung dengan internet dan media sosial. Namun, ada beberapa langkah yang dapat kita ambil untuk mengurangi dampaknya terhadap hidup kita. Hidup orang lain mungkin terlihat sempurna, tetapi itu tidak berarti mereka tidak menghadapi masalah atau tantangan. Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial juga bisa menjadi solusi yang efektif. Dengan mengurangi paparan terhadap konten yang memicu FOMO, kita bisa lebih fokus pada kehidupan kita sendiri dan hal-hal yang benar-benar penting. Penting bagi kita untuk menetapkan prioritas sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan hidup kita sendiri, bukan berdasarkan apa yang dilakukan orang lain. Ketika kita bisa menetapkan batasan yang jelas antara apa yang benar-benar kita inginkan dan apa yang kita lakukan karena tekanan sosial, kita akan merasa lebih bebas dan puas dengan hidup kita.
Selain mengendalikan FOMO, ada juga gerakan populer yang disebut JOMO (Joy of Missing Out). Berbeda dengan FOMO yang dipenuhi kecemasan karena takut ketinggalan, JOMO adalah kebalikannya—sebuah perasaan puas karena tidak terlibat dalam tren atau aktivitas yang tidak benar-benar kita nikmati. JOMO mengajarkan kita untuk menikmati momen-momen tenang, menghargai waktu sendirian, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar membuat kita bahagia. JOMO adalah bentuk kebebasan baru di era digital. Kita tidak lagi merasa tertekan untuk mengikuti setiap tren atau aktivitas yang sedang populer. Sebaliknya, kita bisa memilih dengan lebih bijaksana mana yang benar-benar penting dan mana yang hanya akan menambah beban tanpa manfaat nyata.
FOMO mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan kita, terutama di dunia yang semakin terkoneksi ini. Namun, kita bisa mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampaknya dan menjalani hidup yang lebih seimbang. Mengelola ekspektasi, mengurangi waktu di media sosial, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dapat membantu kita keluar dari siklus FOMO yang tak berkesudahan. Kebahagiaan tidak ditemukan dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, melainkan dengan menghargai apa yang kita miliki dan menjalani hidup sesuai dengan prioritas kita sendiri. Mari tinggalkan FOMO, dan nikmati JOMO sebagai langkah menuju hidup yang lebih damai dan memuaskan. (*)
*) Flowry Madaghta, mahasiswi Ilmu Administrasi Negara UNESA yang aktif berorganisasi, baik di kampus maupun di tingkat daerah. Saat ini sedang fokus menyelesaikan studi, sambil menjalani peran di berbagai organisasi. Dengan semangat yang tinggi, ia juga terlibat dalam diskusi publik untuk menyuarakan isu-isu yang penting bagi masyarakat.
Kirim tulisan Anda dan sertakan data diri sepeti nama, alamat, nama kampus, dan bio singkat ke email: portal@jtv.co.id minimal 300 kata.
Editor : Iwan Iwe