Hingga akhir 2023, Jawa Timur masih memimpin daftar lumbung padi nasional terbesar di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik(BPS) mencatat, luas panen padi di provinsi ini sepanjang Oktober - Desember 2023, mencapai 1.685.211 hektare dengan total produksi beras 5.538.281 ton.
Namun ironisnya, dengan siklus berulang, jelang Ramadan, warga Jawa Timur justru harus berdesakan untuk mendapatkan beras murah.
Potret ironi itu dijumpai saat operasi beras murah di berbagai wilayah di Jawa Timur. Rela berdesakan, demi mendapatkan beras dengan selisih Rp5.000 hingga Rp7.000 karena harga beras menanjak.
Kenaikan harga beras terjadi sejak empat bulan lalu. Awalnya, harga beras medium Rp9.000 hingga Rp10.000 per kilogram. Harga pun merangkak pelan hingga pada Februari 2024, menyentuh angka Rp13.000 hingga Rp14.000 per kilogram.
Sedangkan beras premium yang awalnya di kisaran Rp12.000 hingga Rp14.000 per kilogram, akhirnya meroket dengan kisaran Rp17.000.hingga Rp18.000 per kilogram.
Kenaikan harga beras hingga Rp18.000 per kilogram ini terjadi pada akhir Februari 2024. Dan harga tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah penjualan beras di indonesia, melampaui 30 persen dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional nomor 7 tahun 2023, HET beras medium berlaku Maret 2023 sebesar Rp10.900 per kilogram. Sedangkan beras premium Rp13.900 per kilogram untuk zona satu yang meliputi Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi.
Kenaikan harga tertinggi beras ini justru melahirkan potensi tergerusnya kesejahteraan masyarakat, Bahkan dikhawatirkan menambah angka kemiskinan nasional.
Impor Lawan Harga Beras
Untuk meredam gejolak harga beras, Bulog menggelontor cadangan beras pemerintah ke pasar induk dan pasar ritel. Beras ini merupakan hasil impor dari produsen beras dunia seperti Vietnam, Thailand, Pakistan, dan Myanmar.
Upaya ini menjadi salah satu langkah instan andalan pemerintah untuk memasok permintaan beras nasional. Sesuai data BPS hingga 18 Februari, realisasi impor beras 2024 mencapai 507.000 ton.
Maka, tercatat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang menjadi importir beras terbesar di dunia.
Fakta yang sama, Jawa Timur merupakan salah satu wilayah lumbung padi terbesar di Indonesia. Dengan hasil surplus berasnya, Jawa Timur akhirnya memutuskan menerima impor beras untuk mengendalikan harga beras yang terus meroket.
Sesuai pernyataan Pj Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, impor beras ini merupakan upaya menjamin dan memastikan ketersediaan stok kebutuhan pokok.
“Untuk beras akan menerima bongkar muat beras impor sekitar 300.000 ton jelang Ramadan dan Idul Fitri. Provinsi Jatim akan menjamin beras impor yang masuk. Untuk Jatim, diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan bantuan sosial (bansos) beras, sekaligus untuk stok,” jelasnya.
Terkait Jatim yang memiliki surplus beras 3,1 juta ton per tahun, Pemprov Jatim juga mensuplai 20 provinsi lain melalui mekanisme pasar. Karena selama ini, para distributor memilih mengirim keluar wilayah Jatim, karena harganya lebih tinggi.
Selain memastikan stok kebutuhan pokok yang aman dan harga yang mulai mengalami penurunan, Pemprov Jatim juga memastikan kesiapan Bahan Bakar Mesin (BBM) dan elpiji di momen Ramadan hingga Idul Fitri.
Selain itu, ketersediaan stok dipastikan aman dan disiapkan Satuan Tugas(Satgas) untuk memonitor suplay maupun stok.
Bulog Jatim juga mengklaim stok beras telah aman di bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri, hingga 6 bulan ke depan. Saat ini, Bulog Jatim memiliki stok beras hingga 170.000 ton. Di bulan Maret, Bulog kembali menerima beras impor dari Thailand dan Vietnam, sebanyak 130.000 ton.
Kepala Kanwil Bulog Jatim, Ermin Tora menyebutkan jika pergerakan harga beras telah masuk tren penurunan harga beras dan harga gabah, meskipun tidak cukup signifikan.
“Sejumlah daerah telah mulai panen padi dan Bulog berupaya memasifkan penyaluran beras, stabilisasi pasokan, dan harga pangan(SPHP) di pasar tradisional, ritel modern, serta Gerai Rumah Pangan Kita milik Bulog, termasuk bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda),” terangnya.
Sedangkan untuk harga beras premium, kini masih terpantau masih di atas HET yaitu Rp13.900 per kilogram. Bulog Jatim juga bekerjasama dengan usaha penggilingan padi di Jatim, untuk distribusi beras premium, agar tidak terjadi kekosongan stok beras di ritel modern.
Dari Sistem Ketersedian dan Harga Bahan Pokok(Siskaperbapo) Disperindag Jatim, mulai Jumat, 8 Maret 2024, harga rata-rata beras medium di Jawa Timur sebesar Rp11.813 per kilogram. Harga tertinggi di Kabupaten Sumenep sebesar Rp14.500 per kilogram dan terendah di Kabupaten Tulungagung adalah Rp10.400 per kilogram.
Sedangkan harga rata-rata beras premium di Jawa Timur yakni Rp15.910 per kilogram. Harga tertinggi di Kabupaten Situbondo sebesar Rp16.066 per kilogram dan terendah di Kabupaten Mojokerto yaitu Rp12.237 per kilogram.
Inflasi Naik Imbas Harga Beras Tak Terkontrol
Kenaikan harga beras nyaris tak terkendali ini mendorong naiknya inflasi secara signifikan di Jawa Timur pada Februari 2024 lalu menjadi 0,49 persen. Angka ini tercatat naik dari Januari, yang mengalami deflasi 0,10 persen.
Pemantauan BPS Jawa Timur di 11 wilayah, inflasi tertinggi terjadi di Sumenep 0,70 persen dan terendah di Bojonegoro 0,39 persen. Harga rata-rata beras mencapai Rp14.920 per kilogram. Secara komoditi, pada Februari 2024, inflasi beras tertinggi terjadi di Gresik sebesar 9,98 persen, dan terendah di Jember 5,78 persen.
Tak hanya itu, sesuai data BPS Jatim, perkembangan harga beras mulai merangkak naik sejak 2023 hingga Februari 2024, yaitu secara rata-rata mengalami kenaikan hingga 26 persen.
“Kondisi ini dianggap sebagai Anomali, setelah melihat produksi beras secara nasional di Jawa Timur mengalami kenaikan dan jumlah impor lima kali lebih besar dari sebelumnya. Namun harga beras masih tinggi. Butuh solusi dari pihak pemangku kebijakan tentang kondisi ini,” jelas Zukipli, Kepala BPS Jatim.
Perlu diketahui, produksi beras nasional di Jatim sebesar 1,29 persen sejak 2023. Bahkan tercatat, jumlah impor beras nasional cukup tinggi, namun, harga beras justru mengalami kenaikan tertinggi dalam sejarah beras, yaitu mencapai Rp18.000 per kilogram.
Dengan informasi neraca pangan tersebut, diharapkan mampu mengukur jumlah konsumsi masyarakat, industri, dan usaha kuliner di Jawa Timur. Melalui informasi neraca pangan tersebut, maka bisa diukur seberapa kuat ketahanan pangan untuk masyarakat.
Tak kalah penting, pemerintah diharapkan telah antisipasi atau mempersiapkan stok pangan dari cadangan beras lokal, maupun beras impor yang tersimpan.
Apa Kata Pengamat Ekonomi dan Pertanian?
Harga beras terus mengalami kenaikan sejak awal Februari 2024. Hal ini pun menjadi perhatian pakar agrobis yang juga pengamat bidang pertanian Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Profesor Teguh Sudarto.
Penyebab kenaikan harga yang nyaris tak terkendali ini, merupakan siklus yang berulang. Saat memasuki Ramadan dan jelang Hari Raya Idul Fitri, harga pangan termasuk harga beras kerap mengalami siklus kenaikan harga komoditi pangan utama.
Meski saat ini pemerintah telah mengumumkan berbagai langkah untuk mengendalikan harga beras, namun, kebijakan untuk mengantisipasi permasalahan ketersediaan dan harga dalam jangka panjang harus menjadi fokus utama.
“Peningkatan produktivitas melalui penggunaan input bermutu, perbaikan sarana dan prasarana pertanian, hingga kebijakan yang lebih terbuka pada perdagangan Internasional sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan dan menjaga keterjangkauan masyarakat kepada harga pangan,” jelas Prof Ir Teguh Sudarto, pakar agrobis UPN Veteran Jatim.
Senada hal itu, pengajar Fakultas Ekonomi Pembangunan UPN Veteran Jawa Timur, Wirya Wardaya menjelaskan bahwa kebijakan impor beras tahun 2024, untuk ketahanan pangan, dianggap cukup tinggi, bahkan mencapai 82 persen dibanding tahun lalu.
“Kebijakan impor beras itu tidak serta merta langsung didistribusikan ke masyarakat ke pasar eceran atau melalui bantuan pangan ke warga berpenghasilan rendah. Kebijakan impor dan distribusi beras impor ke masyarakat ini membutuhkan strategi yang tepat,” jelas Wirya.
“Pendistribusian beras impor harus disalurkan pada waktu, lokasi dan kalangan masyarakat yang tepat. Namun di sisi para petani, dalam jangka waktu pendek, justru menaikkan daya jual dari harga gabah kering,” sambungnya.
Namun dalam jangka panjang, justru menjadi dilema karena tingginya daya jual justru tak sebanding dengan hasil produksi padi. Maka, dibutuhkan stabilitas harga agar tidak terjadi inflasi dari komoditas beras.
Kesimpulannya, dibutuhkan perlindungan sosial adaptif atau menyesuaikan yang difokuskan pada masyarakat berpenghasilan rendah dan rentan terhadap kondisi saat ini.
“Kebijakan terhadap pola perlindungan sosial ini harus memperhitungkan dengan tingkat dan dampak inflasi, distribusi pangan sesuai lokasi, resiko atau kerentanan psikis masyarakat terhadap kondisi saat ini,”imbuhnya.
Selanjutnya, pemerintah harus memperhatikan suplay and demand atau penawaran dan permintaan yang seimbang. Dan tak kalah penting adalah produksi untuk menentukan kapan stok pangan tersedia maupun berkurang, sehingga terjaga tingkat konsumsi masyarakat.
Permasalahan ketersediaan dan kenaikan harga pangan, terutama beras menjadi fokus utama. kebutuhan beras menyangkut hajat rakyat, dan negara harus hadir bertanggung jawab.
Beras merupakan ruang ekonomi rakyat. Ketersediaan dan harga beras mampu mempengaruhi inflasi, berdampak pada kestabilan ekonomi. Beras juga berpengaruh terhadap sosial dan politik, dan ini menjadi alasan mengapa pemerintah harus hadir.
Sejarah membuktikan, bahwa gejolak pangan yang berkepanjangan menyebabkan pemerintahan akan labil. Pemikiran beras sebagai komoditas bebas ya
ng bisa diatur dalam mekanisme pasar dengan ideologi liberal, justru melukai rakyat.(Tim Sorot)
Editor : A.M Azany