1 SYAWAL 1444 Hijriyah ini secara ekologis sangat istimewa. Perenungan yang memberikan basis teologis dalam deret waktu merawat bumi. Inilah saat dunia juga sedang memperingati Hari Bumi. Ketahuilah bahwa bumi sebagai karya Illahi sedang bergerak tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sikap destruktif nan polutif manusia terhadap bumi telah berakumulasi membahayakan kehidupan. Realitas saat ini jangan sampai membuat manusia memasuki lahan kosong kebingungan sambil mencemooh siapapun kecuali seruan kebaikan untuk merawat bumi. Kita beridul fitri bersama keluarga dengan memanggul pesan agar tidak memperparah bencana yang diderita bumi.
Ini terutarakan karena saya tidak mau berada dalam sindiran di kitab Shaidul Khatir karya fenomenal Ibnul Jauzi alias Abu al-Faraj ibn al-Jauzi (508 H-597 H) yang hidup di era khalifah Abbasiyah, Al-Mustadi (1142-1180 M) dan guru besar utama mazhab Hambali di Baghdad. Hanya kejahiliaan apabila ada manusia mengumpat sebuah bencana sambal mengutip Hadist Riwayat Muslim: Janganlah mencaci bencana karena sesungguhnya Allah yang menetapkan bencana tersebut. Beliau heran apabila melihat suatu kaum yang mengalami bencana ternyata lebih mengetahui mengenai keadaan sebagaimana para ilmuwan mengemukakan analisisnya, tanpa merenungi adanya kuasa Tuhan. Pada titik inilah saya mengapresiasi langkah siapapun yang menggemakan takbir, tahmid, dan tahlil dari surau-surau, masjid-masjid maupun areal-areal publik. Suatu ikhtiar yang secara imanen menggenapkan upaya pemerintahan memelihara bumi.
Mari menundukkan diri saat idul fitri ini dengan menyelami ayat-ayat yang beribu tahun lalu diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad saw. Dalam QS Ali Imran ayat 190-191, terjumpai firman yang menegaskan pandangan para hamba: “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Terang mencahayai pula dalam selubung yang amat substantif di QS Shad: 27: Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah.
Potret Bumi Kita
Manusia adalah kausa utama atas apa yang terjadi pada bumi. Inovasinya yang tidak bervisi lingkungan menyebabkan suhu panas telah dirasakan beberapa negara Asia, Afrika maupun Eropa (Perancis, Italia, Spanyol) dengan suhu mencapai 45,9 derajat celsius sebagaimana yang pernah “menyengat” Bulgaria, Portugal, Yunani, dan Macedonia Utara. Realitas ini sehaluan dengan riset ilmuwan dunia bahwa bumi saat ini menjadi yang terpanas sejak 12.000 tahun terakhir sebagaimana dilansir Samantha Bova dari Rutgers University di akhir Januari 2021.
Pada 2023 ini suhu global rata-rata menurut beragamn riset diperkirakan mencapai kenaikan sekitar 1,2 derajat celcius di atas suhu sebelum manusia memperhatikan perubahan iklim. Gelombang panas ini menurut WMO sangat konsisten dengan dampak gas rumah kaca hingga Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan semua pihak agar segera mengambil langkah konkret mencegah kehancuran planet ini akibat global warming yang terus menyeruak. Para ilmuwan UNEP pun memprediksi bahwa perubahan iklim merupakan masalah lingkungan terbesar seratus tahun ke depan. Sejumlah besar prakarsa internasional diorganisir untuk mengatasinya berdasarkan Paris Agreement: dunia wajib mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius.
Dampak buruk pemanasan global sudah sangat lokal. Otoritas PBB sudah melaporkan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan seluruh planet bumi mengalami banjir, penurunan hasil pertanian maupun kenaikan permukaan air laut dari 9-88 cm. Kondisi ini sangat membahayakan nasib negara-negara kepulauan dan hasil pertanian. Beberapa desa di Lamongan mengalami derita banjir selama lebih tiga bulan sekarang ini. Tangkapan ikan para nelayan di Jawa Barat misalnya, juga tidak seperti 10 tahun lalu. Kerusakan ekologis-klimatologis ini telah membawa kerugian ekonomi yang besar.
Mari Selamatkan Bumi
Saya mencoba mengkristalkan jiwa untuk terus optimis bahwa kondisi sekarang ini niscaya sarat pesan-pesan positif bagi umat manusia. Kondisi bumi yang kian rentan dapat dijadikan sebagai madrasah yang mengajarkan bagaimana membangun relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat. Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola alam. Senafas dengan tema yang diusung Hari Bumi 2023, “Invest in Our Planet” mari kita berinvestasi ekologis memulihkan bumi kita “sedasar hak asasi alamnya” (nature stewardship principle).
Belajar pada referensi tua seperti Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389), dapat diketahui bahwa untuk mengatasi krisis bumi itu diawali dari tingkat teritori terkecil, yaitu desa. Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama berbunyi: Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana; Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara; Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka; Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus.
Itulah sabda Raja Hayam Wuruk yang inti maknanya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009) adalah: negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan, apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan, apabila tidak ada tentara yang kuat pasti negara mudah diserang musuh, untuk itulah peliharalah keduanya. Pesan ini amat fenomenal dalam peradaban ekologis leluhur bahwa membangun negara harus berpijak pada desa. Menyelamatkann bumi dengan merawat kelestarian alam pedesaan. Mudik idul fitri ini dapat menjadi alur perjalanan merawat bumi dari kampung halaman.
Saya percaya bahwa untuk menghindarkan negeri ini dari bencana lingkungan yang lebih dahsyat, tentu tidak perlu berandai-andai sebagaimana pesan satir Alan Weisman: guna menyelamatkan bumi, haruskah memang sampai menunggu manusia tak ada lagi di dunia ini, The World without Us. Mengikuti saran brilian Jared Diamond melalui karya inspiratifnya, Collapse: siapapun, perorangan, badan usaha dan negara dapat melakukan untuk menemukan cara mencegah peradaban ambruk karena dunia tak kuat menangungnya. Selamat beridul fitri. Selamat merawat bumi sambil mudik. (*)