Pelecehan seksual kini menjadi isu serius yang meluas di Indonesia, menimbulkan dampak fisik dan psikologis bagi para korban. Fenomena ini terjadi di berbagai tempat tanpa memandang gender, dan korban sering kali merasa tidak berdaya untuk melapor atau mencari bantuan. Dalam masyarakat yang seharusnya mendukung korban, masih terdapat stigma dan kurangnya pemahaman yang menghalangi penanganan cepat terhadap kasus-kasus pelecehan seksual.
Salah satu faktor utama yang menyumbang pada maraknya pelecehan seksual adalah budaya patriarki yang kuat di Indonesia. Norma-norma sosial yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat berkontribusi pada pemahaman yang keliru bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang dapat diterima. Selain itu, minimnya pendidikan seks dan pemahaman hak individu membuat banyak orang tidak menyadari bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Faktor ekonomi juga menjadi pemicu dalam kasus-kasus ini, terutama dalam situasi kemiskinan, di mana perempuan sering menjadi sasaran mudah bagi pelaku. Dengan kurangnya dukungan finansial, banyak korban merasa sulit untuk melawan atau bahkan melaporkan tindakan pelecehan yang mereka alami.
Data terbaru menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual terus meningkat. Pada tahun 2023 saja, terdapat lebih dari 26.000 laporan kasus pelecehan dan kekerasan seksual, termasuk sekitar 2.700 kasus yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Ini membuktikan bahwa pelecehan seksual bukanlah masalah terisolasi, melainkan fenomena yang membutuhkan penanganan serius.
Kejadian pelecehan seksual yang mencolok kini juga marak di lingkungan kampus. Salah satu contoh terbaru terjadi di Universitas Negeri Surabaya, di mana Ketua BEM Fakultas Bahasa dan Seni mengaku mengalami pelecehan oleh mahasiswa Teknik Informatika saat kegiatan pengenalan kampus (PKKMB). Kejadian ini disampaikan oleh korban, DB, melalui akun Instagram-nya dengan kronologi yang mengejutkan. Ia menceritakan bagaimana pelaku mendekatinya, menempelkan tubuhnya, dan menertawakannya, sementara orang-orang di sekitarnya hanya menonton atau menertawakan kejadian tersebut.
Peristiwa ini menggambarkan betapa mendalamnya trauma yang dialami korban akibat pelecehan seksual, serta pentingnya langkah-langkah pencegahan yang harus segera dilakukan oleh pihak kampus. Setelah kejadian, DB harus menjalani perawatan psikologis dan telah melaporkan kasusnya ke Satuan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Negeri Surabaya.
Vinda Maya, Kepala UPT Humas Universitas Negeri Surabaya, berharap bahwa kasus ini menjadi momen penting bagi kampus untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Penanganan yang cepat serta harapan untuk pemulihan korban menjadi fokus utama dalam menghadapi kasus ini.
Dengan meningkatnya jumlah kasus di lingkungan kampus, penting bagi seluruh mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran dan tidak menganggap pelecehan seksual sebagai candaan. Lingkungan kampus seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua mahasiswa untuk belajar dan berinteraksi. Karena itu, penting bagi siapa pun yang mengalami atau menyaksikan pelecehan untuk segera melapor, demi terciptanya lingkungan yang lebih aman dan suportif bagi semua. (*)