Korupsi adalah masalah laten yang mengganggu pengelolaan entitas publik, terutama di sektor pemerintahan. Di negara berkembang, penanganan korupsi yang tepat dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Upaya pemberantasan korupsi harus dimulai melalui pendidikan dan perubahan budaya menuju anti-korupsi untuk membentuk pemerintahan yang efektif. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam kerangka reformasi birokrasi dan hukum yang baik dapat menekan pertumbuhan korupsi, meningkatkan deteksi, serta memberikan hukuman transparan atas tindak pidana korupsi.
Kebijakan, transparansi, dan struktur governansi merupakan bagian inti dari tata kelola pemerintahan yang baik (good government governance), yang menjadi elemen penting dalam penanggulangan korupsi. Jika tata kelola pemerintahan buruk, potensi korupsi akan semakin besar. Korupsi terjadi karena lemahnya tata kelola, terutama dalam birokrasi dan penegakan hukum.
Namun, apakah tata kelola (governansi) benar-benar mempengaruhi korupsi?
Governansi adalah proses perumusan dan penerapan regulasi serta prioritas pembangunan melalui interaksi antara pejabat pusat, daerah, dan legislatif, serta birokrasi, dengan partisipasi masyarakat ekonomi dan masyarakat madani. Empat bidang governansi yang memiliki peran berbeda-beda adalah:
1. Pemerintah bersama legislatif: Berfungsi menyusun kebijakan yang dilaksanakan oleh eksekutif dan legislatif.
2. Birokrasi: Lembaga pelaksana yang melayani masyarakat dan pemerintah.
3. Masyarakat madani: Lembaga non-pemerintah seperti LSM, yayasan, organisasi nirlaba, organisasi buruh, dan lembaga pendidikan.
4. Masyarakat ekonomi: Badan usaha yang berorientasi mencari keuntungan, sekaligus mengadvokasi lingkungan usaha yang lebih baik.
Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi. Indikasi korupsi dapat terlihat melalui beberapa hal seperti maraknya korupsi, rendahnya akuntabilitas publik, tingginya motivasi korupsi, banyaknya sektor terdampak, dan kurang efektifnya program anti-korupsi.
Korupsi telah menjadi masalah yang memengaruhi kredibilitas lembaga publik di hadapan masyarakat dan dunia internasional. Korupsi hadir dalam berbagai bentuk, termasuk penyuapan, gratifikasi, kolusi, nepotisme, pemerasan, dan penipuan.
Pendekatan untuk membangun kerangka kerja governansi dalam pemberantasan korupsi dapat dimulai dari:
1. Teori keagenan: Governansi yang baik mengatur hubungan antara prinsipal (masyarakat) dan agen (eksekutif) untuk memastikan agen bertindak sesuai amanat prinsipal.
2. Teori kontingensi: Mengaitkan tata kelola dengan konteks lingkungan yang berbeda, yang memengaruhi penerapan prinsip governansi.
Penelitian menunjukkan bahwa tata kelola yang baik berperan efektif dalam mengendalikan korupsi. Semakin baik tata kelola yang diterapkan melalui penegakan regulasi, kondisi politik yang stabil, dan penghormatan pada suara publik, maka korupsi dapat diberantas secara menyeluruh. Tata kelola yang baik memastikan agen tidak mengikuti agenda pribadi, tetapi mengikuti amanah masyarakat, dan sukarela memberikan pelayanan terbaik.
Di Indonesia, reformasi 1998 menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan, termasuk penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, setelah lebih dari 20 tahun, sebagian besar tuntutan ini belum sepenuhnya terpenuhi. Ini menjadi tantangan bagi penegakan hukum di Indonesia. Pemerintah harus menjadikannya agenda prioritas pembangunan nasional untuk memastikan pemerintahan yang bersih dan transparan, sehingga korupsi dapat berkurang secara signifikan. (*)
*) Prof Ali Muktiyanto, Wakil Rektor II Universitas Terbuka
Editor : Iwan Iwe