Pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat teraman dan ternyaman dalam menimba ilmu dan mempertebal agama, justru menjadi tempat menyeramkan, tatkala ada unsur bullying dan berujung penganiayaan. Bahkan tak sedikit dari korban yang harus meregang nyawa. Terlebih ada paham senioritas yang menjadi bumbu dalam lingkungan pondok pesantren. Seperti kasus yang terjadi di kediri pada akhir bulan Februari 2024 ini.
Seorang santri asal Banyuwangi yang sedang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Al Hanafiyah Dusun Mayan, Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri meninggal dunia dengan kondisi penuh luka di sekujur tubuhnya.
Korban itu adalah Bintang Balqis Maulana (14 tahun) warga asal Kampung Anyar, Dusun Kendeng Lembu, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore. Jasad korban dibawa pulang ke rumah duka, pada Jumat 24 februari 2024 yang diantarkan oleh pengasuh Ponpes All Hanifiyah.
Awalnya kesimpangsiuran penyebab kematian korban masih menjadi misteri, ketika pihak pengasuh ponpes dan juga sepupu korban yang satu pondok tidak memperbolehkan keluarga korban melihat jasad korban yang sudah dikafani.
Baca Juga : Polres Kediri Kota Gelar Doa Bersama Untuk Pilkada Aman dan Damai
Pihak pengasuh Ponpes Gus Fatihunnada mengaku, mendapat informasi dari sepupu korban jika Bintang meninggal karena jatuh dari kamar mandi. Namun kejanggalan terlihat ketika kucuran darah segar keluar dari kain kafan yang membungkus jasad korban Bintang.
Keluarga pun semakin curiga dengan penyebab kematian korban. Bahkan informasi yang didapat keluarga korban selalu berubah-ubah dan pihak pondok terkesan berbelit- belit.
Suyanti ibu korban menjelaskan, bahwa jenazah datang pada Jumat sekitar pukul 11 malam diantar oleh pihak pondok menggunakan mobil ambulance.
Baca Juga : Operasi Tumpas Narkoba 2024: Polres Kediri Kota Berhasil Tangkap 14 Pelaku
Saat jenazah datang keluarga curiga saat akan dibawa kedalam rumah darah berceceran di lantai teras. Bahkan saat pihak keluarga akan membuka kain kafan, pihak pondok sempat melarang dengan alasan bahwa jenazah sudah disucikan.
Karena semakin curiga pihak keluarga tetap membuka dan benar saja jenazah dalam kondisi mengenaskan yakni mengalami luka lebam di sekujur tubuh.
Awalnya pihak keluarga sempat akan langsung memakamkan namun warga sekitar yang simpati dan geram ke pihak pondok pesantren akhirnya meminta untuk dilakukan autopsi di Rumah Sakit Blambangan.
Baca Juga : Korban Penipuan Tahun 2019 Perjuangkan Nasib, Polres Kediri Kota Siap Buka Kembali Kasusnya
Pihak keluarga dan warga sempat geram yang awalnya mengaku pesuruh atau pengurus pondok, namun usut punya usut ternyata yang ikut mengantarkan jenazah korban tersebut adalah pengasuh pondok pesantren itu sendiri.
Bahkan penjelasan dari pengasuh sendiri sering berubah-berubah yang awalnya korban terjatuh di kamar mandi,namun karena desakan warga akhirnya mengaku jika meninggalnya korban akibat dianiaya dan salah satu terduga pelakunya masih sepupu korban.
“Saya ingin melihat kondisi anak saya, saya ingin mencium anak saya. Dibuka, ternyata mukanya semuanya sudah hancur,” kata Suyanti, ibu korban.
Baca Juga : Sambung Guyub Media, Ciptakan Pilkada 2024 Aman dan Kondusif Di Kota Kediri
Sementara pengasuh pondok mengaku dirinya tidak mengetahui perihal penganiayaan tersebut.
“Saya sampaikan apa adanya, karena saya dari awal berniat mengantar, saya dapat laporan anak ini jatuh,” ungkap Gus Fatihunnada, pengasuh Ponpes Al Hanifiyah.
Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priyaji mengatakan, meninggalnya korban ini, sudah dikoordinasikan dengan Polres Banyuwangi.
Baca Juga : Perampok Minimarket Di Kediri Akhirnya Ditangkap Polisi
“Hasil koordinasi dengan Polresta Banyuwangi, bekerjasama antara Satreskrim Polresta Banyuwangi dan Satreskrim Polres Kediri Kota, kami telah melaksanakan tindaklanjut,” jelas AKBP Bramastyo.
Korban Kerap Minta Pulang
Ternyata, sebelum meninggal dunia korban kerap kali minta pulang ke Banyuwangi tanpa alasan yang jelas. hal itu terungkap dari komunikasi korban dengan orang tuanya, melalui WhatsApp.
Namun saat didesak, korban tidak pernah menjelaskan secara rinci masalah yang dialami tersebut. Suyanti menuturkan,bahwa anaknya memang kerap kali meminta pulang ke banyuwangi diduga karena sering dibully oleh sepupunya sendiri.
Suyanti juga menguatkan saat dirinya atau pihak keluarga mengirim uang ke Bintang melalui rekening pribadi AF yang diduga tidak pernah sampai kepada korban. Bahkan terkadang hanya diberi setengah dari yang dikirimkan.
Apalagi saat berkomunikasi korban sering bernada ketakutan dan saat video call hanya menampakkan setengah mukanya saja dengan mimik wajah pucat ketakutan. Bahkan ia pernah memberikan pesan pendek melalui WhatsApp meminta tolong karena merasa ketakutan.
Dari kejadian itu terduga pelaku juga sempat diinterogasi oleh pihak keluarga dan dari pengakuannya bahwa korban sangat nakal sehingga ia bersama teman temannya memukul dengan alasan agar bbm bisa berubah.
Suyanti juga mendapat penjelasan dari pihak kepolisian Polres Kediri yang saat itu datang ke Banyuwangi bahwa anaknya tersebut dianiaya sejak hari minggu 18 Februari 2024.
Pihak kepolisian juga sudah mengamankan 4 orang santri di pondok tersebut yang kini sedang dilakukan penyelidikan lebih dalam.
“Dia (sepupu korban).mengaku bahwa dia juga ikut mukul sedikit atas kasus pembulian Bintang,” jelas Suyanti.
Sementara itu kakak korban, Mia Nurhasanah menjelaskan bahwa adiknya tersebut merupakan anak yang pendiam dan selalu nurut pada keluarga.
Sederet fakta janggal dalam kematian Bintang yaitu perwakilan pesantren menyatakan korban meninggal akibat terjatuh di kamar mandi, padahal karena penganiayaan, kain kafan korban tidak boleh dibuka.
Darah berceceran menembus kain kafan korban. Adanya luka lebam, luka bekas sundutan rokok, luka jeratan di leher. Hidung Patah dan pihak pondok menutup-nutupi peristiwa ini.
Dari sederet fakta itu, membuat pihak keluarga korban meyakini jika korban meninggal secara tidak wajar.
4 Tersangka Ditahan Polres Kediri Kota
Pihak kepolisian yang intens melakukan penyidikan pun akhirnya melakukan penahanan terhadap empat tersangka penganiayaan santri di Ponpes Al Hanifiyah Kabupaten Kediri.
Ada 4 tersangka yang merupakan santri senior di Ponpes Tartilul Qur'an Al Hanifiyah Desa Kranding Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri Jawa Timur.
Keempat pelaku masing-masing NN (18) siswa kelas 11 asal Sidoarjo, MA (18) siswa kelas 12 warga Kabupaten Nganjuk, AF (16) asal Denpasar Bali dan AK (17) warga Surabaya. Ironisnya, tersangka AF merupakan kakak sepupu dari korban.
“Di antara mereka mungkin ada salah paham, kemudian terjadilah penganiayaan yang dilakukan bolak-balik,” jelas AKBP Bramastyo.
Sementara Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur juga turun ke lapangan, dan melakukan rakor terkait kasus meninggalnya Bintang. Dari hasil rakor, diketahui ternyata Ponpes Tartilul Qur'an Al Hanifiyah belum mempunyai izin operasi.
Ponpes Al Hanifiyah ini baru beroperasi pada tahun 2014. Hingga saat ini pesantren tersebut memiliki 19 santri putra dan 74 santri putri.
Namun Kanwil Kemenag Jawa Timur tidak bisa menutup atau membubarkan Ponpes Tartilul Quran Al Hanifiyah, karena ponpes beda dengan lembaga. Ponpes didirikan oleh seorang kiai atau tokoh ulama, sedangkan lembaga didirikan oleh yayasan, yang dalam hal ini Kemenag Jawa Timur berwenang melakukan tindakan penutupan atau pembubaran.
Bahkan Kemenag Jatim angkat bicara mengenai terjadinya kekerasan fisik di Pesantren Al Hanifiyah Kediri, mereka menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut kepada aparat penegak hukum atau kepolisian. Sejak awal tahun 2024 sampai saat ini kemenag jatim sudah mencatat ada 3 kasus kekerasan fisik yang terjadi di pondok pesantren.
Disampaikan Mohammad As 'adul Anam, Kabid Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim, bahwa sejak awal tahun 2024 ini sudah tiga kali kejadian kekerasan fisik yang terjadi di pondok pesantren, kejadian tersebut semua melibatkan antar santri, seperti di Blitar, Malang dan yang terakhir di Pesantren Al Hanifiyah Kediri.
Kemenag Jatim sangat menyayangkan dengan terjadinya kekerasan fisik yang terjadi di lembaga keagamaan pesantren. Anam berharap kejadian di Kediri ini menjadi yang terakhir dan sebagai peringatan bagi lembaga pesantren untuk bisa mengatur management santri dengan baik.
“Kami berharap bahwa kejadian yang ada di Kediri ini menjadi kejadian yang terakhir, menjadi peringatan bagi seluruh pondok pesantren,” tegasnya.
Kejadian kekerasan santri yang terjadi di Pondok Pesantren Al Al Hanifiyah Kediri, Kemenag Jatim menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum atau polisi, karena kasusnya sudah masuk dalam ranah pidana kekerasan fisik.
Kemenag Jatim sudah sering kali melakukan sosialisasi program sapa lembaga pendidikan keagamaan islam , yang setiap satu minggu sekali memberikan sosialisasi penyuluhan terkait kekerasan di pesantren.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani pun berempati dengan kasus yang menimpa warganya. Dalam kesempatan itu bupati langsung bertemu dengan ayah dan ibu kandung almarhum yakni Rustam dan juga Suyanti.
Saat kunjungan ini bupati menyampaikan rasa belasungkawa dan juga memberikan dukungan moril untuk pihak keluarga. Selain itu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan juga kabupaten Kediri saling koordinasi untuk mengawal kasus ini.
“Pemerintah daerah akan membantu komunikasi antar daerah Banyuwangi dengan Kediri,” jelas Ipuk.
Tanggal 29 Februari 2024, Polres Kediri Kota menggelar rekonstruksi atas kasus penganiayaan santri asal Banyuwangi di Mako Polres. Ada 55 adegan rekonstruksi yang di peragakan empat tersangka, dan dilakukan secara tertutup.
Tampak dari kejauhan keempat tersangka memperagakan sejumlah adegan penganiayaan pada korban.
Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priyaji mengatakan rekonstruksi ini dilakukan agar ada titik terang dalam kasus ini. Ada 55 adegan yang diperagakan dalam rekonstruksi, dengan rincian 3 adegan di TKP pertama, 12 di TKP kedua dan 40 adegan di TKP ketiga.
Kapolresta menambahkan, rekonstruksi ini sendiri dilakukan sebagai upaya memperjelas dan mencocokkan setiap adegan dengan keterangan saksi. Dalam rekonstruksi ini, keempat pelaku menggunakan tangan kosong dalam melakukan aksinya.
Senioritas di Pesantren
Pakar psikologi menyebut tindak kekerasan siswa disebabkan karena adanya pola kebiasaan sikap senioritas yang membudaya . Selain itu tidak adanya pengawasan yang sistematis dari pihak sekolah pada siswanya atau pun pondok pesantren.
Kejadian meninggalnya santri dari Ponpes Al Hanifiyah Kediri , menjadi kasus baru dari maraknya kejadian perundungan yang dilakukan siswa di Indonesia.
Hal ini disoroti oleh Psikolog dari Untag Surabaya, I Gusti Ayu Agung Noviekayanti yang menyebut hal seperti ini terjadi karena adanya pola kebiasaan yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Yaitu adanya sikap senioritas dari kakak kelas pada adik kelas.
Sikap senioritas tersebut akhirnya membudaya dalam diri siswa, dan ingin melampiaskan pada juniornya sehingga sikap tersebut bisa menjadi balas dendam atau sekadar meneruskan kebiasaan yang ada di lingkungannya.
Wanita yang akrab disapa Novi ini menjelaskan dalam psikologi, perilaku agresif disebabkan 2 faktor yakni instrumental dan inner. Instrumental adalah karena adanya sarana dan situasi yang mendukung untuk melakukan kekerasan. Sedangkan inner adalah faktor dalam diri pelaku yang memang mempunyai karakter suka kekerasan .
Selain itu, jika terjadi tindak kekerasan dalam lembaga pendidikan yang menandakan bahwa sistem tidak berjalan dengan baik,.artinya tidak ada pengawasan yang dilakukan pihak sekolah atau ponpes pada siswa atau santrinya .
“Ketika senior junior, si senior memberi perundungan kepada si junior. Nanti si junior ketika menjadi senior, dia juga akan balas dendam,” ungkap Novi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Cita Juwita, Psikolog Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim. Di mata psikolog yang seringkali menangani kasus bullying dan juga penganiayaan, kasus yang terjadi di kediri ini bukan kasus baru, sudah ada kasus serupa yang terjadi.
Namun yang sangat disayangkan, penganiayaan terjadi di lembaga pendidikan agama yang harusnya penguatan iman itu bisa meminimalisir bullying yang berujung penganiayaan.
“Ada senioritas yang tidak terlihat, maksudnya tidak terucap tetapi ada di situ,” ungkap Cita.
Cita menambahkan ada beberapa faktor yang memengaruhi seseorang bisa berbuat kejam dan keji kepada orang yang dikenalnya atau masih ada hubungan darah dengannya. Diantaranya rasa senioritas sehingga baginya anak baru atau junior bisa diperlakukan dibawah kendalinya.
Diharapkan ada edukasi yang dilakukan kepada pihak keluarga atau orang tua ketika sang pelaku bullying atau penganiayaan itu kembali ke keluarga usai menjalani masa hukuman.
Baginya psikolog atau dokter hebat sekalipun tak mampu merubah karakter orang jika orang terdekatnya tidak di edukasi dengan baik. Karena orang terdekatlah yang akan membersamai mereka lebih intens. (Tim Sorot)
Editor : A.M Azany