Pernikahan dini terus menjadi isu serius di Indonesia. Dalam beberapa masyarakat, hal ini dianggap sebagai solusi untuk menghindari dosa zina atau menutupi kehamilan di luar nikah. Namun, di balik keputusan tersebut, ada dampak negatif yang sering kali diabaikan, terutama terhadap pendidikan, karier, dan masa depan generasi muda.
Salah satu penyebab utama pernikahan dini adalah gaya pacaran yang melampaui batas. Faktor lain yang turut memengaruhi adalah tren atau fenomena FOMO (fear of missing out), pola asuh yang kurang baik, desakan dari lingkungan, adat istiadat, serta kemudahan akses terhadap informasi tanpa panduan yang jelas. Kombinasi faktor ini mendorong remaja untuk menikah meskipun belum matang secara emosional maupun finansial.
Dampaknya, banyak remaja yang harus putus sekolah setelah menikah di usia dini. Pendidikan sering kali menjadi korban pertama, karena tanggung jawab baru sebagai istri, suami, atau orang tua mengharuskan mereka melepaskan kesempatan akademis. Tanpa pendidikan yang cukup, peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi terbatas, yang pada akhirnya memperpanjang rantai kemiskinan di keluarga tersebut.
Kasus pernikahan dini juga sering dijadikan solusi untuk menutupi rasa malu akibat kehamilan di luar nikah. Meski dimaksudkan untuk menyelamatkan nama baik keluarga, pilihan ini kerap membawa masalah baru, seperti perceraian, konflik rumah tangga, atau kesulitan ekonomi. Minimnya kesiapan emosional membuat banyak pasangan muda ini kewalahan dalam menghadapi dinamika rumah tangga.
Di beberapa wilayah, pernikahan dini juga dilakukan untuk menghindari zina. Namun, remaja sering kali tidak menyadari bahwa pernikahan bukan hanya soal menghindari dosa, melainkan juga tentang tanggung jawab besar yang memerlukan persiapan matang. Ketidaksiapan ini berdampak pada tingginya risiko perceraian dan bahkan stunting pada anak-anak yang lahir dari pernikahan dini.
Para ahli pendidikan, psikolog, dan aktivis hak anak menekankan pentingnya solusi berbasis pendidikan. Mereka berpendapat bahwa edukasi seks dan hubungan yang sehat perlu diberikan sejak dini untuk membantu remaja membuat keputusan bijak. Pemerintah telah menetapkan batas usia minimal untuk menikah, tetapi celah hukum dan tekanan sosial masih sering dimanfaatkan untuk mengesahkan pernikahan dini.
Sebagai alternatif, generasi muda dapat diarahkan untuk terlibat dalam kegiatan yang produktif, seperti ekstrakurikuler, organisasi kepemudaan, atau program volunteer. Aktivitas semacam ini tidak hanya mengembangkan keterampilan tetapi juga membantu mereka menemukan minat dan bakat yang dapat menjadi landasan karier di masa depan.
Produktivitas di usia muda menjadi solusi untuk memutus rantai permasalahan sosial akibat pernikahan dini. Ketika remaja memiliki tujuan yang jelas, mereka lebih termotivasi untuk melanjutkan pendidikan dan mengembangkan diri. Dengan pendidikan yang memadai, peluang untuk mendapatkan pekerjaan layak dan masa depan yang cerah menjadi lebih besar.
Pernikahan dini bukanlah solusi ideal untuk mengatasi masalah sosial. Alih-alih menyelesaikan masalah, hal ini justru menciptakan persoalan baru yang berkepanjangan. Dengan memberikan edukasi yang komprehensif dan dukungan yang memadai, kita dapat membantu generasi muda menghindari pernikahan dini dan membangun masa depan yang lebih baik. (*)