Belakangan ini, media sosial dipenuhi tayangan yang memperlihatkan rendahnya kompetensi siswa dalam hal pengetahuan. Banyak akun atau influencer memvisualisasikan kemampuan siswa dalam memahami pengetahuan dasar, dengan video-video yang memperlihatkan sejumlah siswa SMP-SMA kesulitan menjawab pertanyaan umum yang seharusnya mudah bagi mereka. Fenomena ini menambah panjang daftar masalah di dunia pendidikan dasar dan menengah, yang selama ini sudah menghadapi isu perundungan yang belum terselesaikan.
Menurut Ester Lince Napitupulu, seorang pegiat pendidikan yang dilansir oleh Kompas, rendahnya kemampuan literasi menjadi salah satu penyebab utama rendahnya pengetahuan siswa di Indonesia. Generasi Z saat ini berada di zona nyaman berkat kemudahan teknologi. Dengan berbagai aplikasi kecerdasan buatan (AI) di genggaman, mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan mudah, mulai dari soal matematika kompleks hingga esai bahasa asing, hanya dengan bantuan aplikasi. Kemudahan ini membuat mereka kehilangan esensi dari proses belajar itu sendiri.
Akibatnya, siswa mulai meremehkan peran guru di kelas karena merasa semua bisa diselesaikan melalui ponsel. Fenomena ini menciptakan generasi yang cenderung arogan, yang dengan fasilitas yang diberikan orang tua semakin merasa nyaman di zona mereka. Mereka bahkan memandang pendidikan sebagai sesuatu yang kurang penting, seolah mengikuti pola pikir Adolf Hitler dalam bukunya Mein Kampf, di mana ia menyebut guru sebagai "diktator bodoh yang memaksa kita mempelajari hal-hal tak berguna." Namun, berbeda dengan generasi Z yang minat bacanya rendah, pandangan seperti ini justru membuat siswa bergantung pada hal-hal visual tanpa kesadaran literasi yang kuat. Tak heran, di era sekarang, konten video di media sosial menjadi raja dalam menyebarkan informasi.
Kemajuan teknologi yang luar biasa juga membawa sisi gelap. Bill Gates, dengan Microsoft-nya, menciptakan beragam inovasi yang memudahkan pekerjaan, seperti MS-Office yang menyederhanakan proses pengolahan data dan dokumen. Salah satu fitur terkenal, “Ctrl+C” dan “Ctrl+V,” memungkinkan kita menyalin dan menempel teks dengan mudah, sesuatu yang tidak ada pada era mesin ketik di tahun 80-an, di mana segalanya harus ditulis ulang secara manual. Begitu pula dengan Google Translate yang memungkinkan kita menerjemahkan bahasa asing hanya dengan sekali klik. Namun, kemudahan ini membawa efek samping berupa kecenderungan untuk menyederhanakan, bahkan menghindari, proses belajar yang seharusnya menjadi pengalaman membangun integritas intelektual.
“Ctrl+C” dan “Ctrl+V” serta Google Translate seakan menjadi jalan pintas bagi mereka yang ingin bypass proses kreatif dan belajar. Kini, siapa pun bisa dengan mudah terlihat sebagai kreator handal, penulis produktif, atau mahir berbahasa asing, meski semua itu adalah hasil kerja mesin. Kecenderungan untuk mengklaim karya mesin sebagai milik pribadi semakin mencederai integritas dunia intelektual.
Meski demikian, berbagai software antiplagiasi seperti Turnitin, PlagScan, PaperRater, dan Copyscape kini menjadi jalan tengah untuk mencegah plagiarisme. Namun, jika mindset kita sudah terbentuk untuk mencari jalan pintas, maka taktik apapun bisa dicari untuk mengelabui alat deteksi ini.
Mungkin, Bill Gates dengan “Ctrl+C” dan “Ctrl+V,” serta Larry Page dan Sergey Brin dengan Google Translate, akan menyesali dampak dari "ciptaan" mereka. Pada akhirnya, kemudahan yang diciptakan ini seperti "kutukan" bagi dunia pendidikan dan intelektual, menguji sejauh mana manusia dapat memanfaatkannya secara bijak. (*)